KIK ?
Sebenarnya, akhir-akhir ini sedang marak berita mengenai parkir kendaraan bermotor di sejumlah fakultas di UGM. Ya, mungkin mahasiswa UGM sudah demikian sugih, sehingga membutuhkan lahan berlebih untuk memarkirkan kendaraannya (baca: mobil).
Sumber Foto: FB Mas Dwiky PS |
Saya jadi teringat tulisan saya ini yang sudah lama terbaikan. Bahas tulisan saya ajadeh yaaa :D
KIK.
Ada yang tahu apa itu KIK?
Kalau mahasiswa UGM mustinya sudah tau lah, ya. ^^
Kali ini saya ingin membahas KIK, dalam perspektif diri saya sendiri. Jadi ini hanyalah sebuah tulisan/opini pribadi saya. Saya meminta maaf atas kata-kata yang kurang berkenan kemudian.
Oke, pertama, mari kita tengok apa itu KIK dari perspektif kami (Mahasiswa UGM 2012).
KIK, sebenarnya merupakan singkatan dari Kartu Identitas Kendaraan. Kartu ini digunakan sebagai kartu masuk kendaraan bermotor untuk memarkir kendaraannya di lingkungan UGM.
Jalur Masuk Bunderan UGM |
Jadi ceritanya, kami (baca: angkatan 2012) dan 2011 sejak awal masuk kuliah telah diikat dengan peraturan "Dilarang membawa kendaraan bermotor ke kampus". Ini dilakukan untuk menciptakan lingkungan UGM yang lebih hijau dan ramah, environmentall friendly campus. Dengan adanya aturan ini, salah satu fasilitas yang disediakan kampus adalah sepeda kampus yang bisa digunakan mahasiswa melalui halte-halte sepeda yang telah ada.
Hal inilah yang mendasari saya untuk selalu menolak tawaran "motor" dari kedua orangtua saya. Selama dua semester saya bertahan, pergi ke kampus berjalan kaki. Terkadang menyabotase sepeda teman saya, sering juga saya nebeng teman saya yang bawa motor. Pada awalnya, saya sangat tidak setuju dengan teman saya yang membawa motor. Jelas saja, aturan telah kami setujui dan kami semua telah menandatangani kontrak di atas materai. Dan itulah yang membuat saya selalu ragu, dan takut akan dimintai pertanggungjawaban. Semoga Allah mengampuni dosa saya, dan civitas akademika UGM memaafkan kesalahan saya.
Akan tetapi, lama-kelamaan rasa toleran saya terhadap aturan yang satu ini mulai luntur (#plak!). Saya mulai memaklumi teman yang menaiki motor untuk ke kampus yang memang rumahnya jauh, seperti Bantul dan Sleman. Saya sendiri mulai berani nebeng teman saya yang membawa motor (nebeng = mendukung dia bawa motor, kan ya?), bahkan terkadang berani meminjam motornya untuk beberapa keperluan yang tidak terjangkau dengan berjalan kaki atau bersepeda. Sekali lagi, saya memohon ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada segenap civitas akademika UGM.
Berkendara memang salah satu kebutuhan mahasiswa, terutama mahasiswa dengan aktivitas yang cukup padat (atau sok sibuk?) dan tidak bisa diam seperti saya, haha.
Ohya! Belakangan saya baru sadar mengapa dulu saya sering mengantuk di dalam kelas. Ternyata karena fisik saya terlalu "lelah" untuk diajak berpikir setelah berjalan sedemikian jaraknya. Fisik saya telah terforsir untuk muter-muter sebelum kuliah, sehingga saat kuliah justru saya sering mengantuk. Hmm.Jadilah pada pertengahan semester ketiga saya mulai membawa motor. Awalnya jarang karena sepeda teman saya masih bisa saya sabotase. Lama-kelamaan ndak enak juga sudah bawa motor masih sering pinjam sepedanya. Akhirnya saya jalan kaki saja, dan sesekali naik motor. Akan tetapi semester tiga memang kurang berpihak kepada saya. Agenda kuliah dan hal lain yang cukup padat menuntut saya untuk cepat nemplok dari satu tempat ke tempat lain. And finally, saya bawa motor!
KIK: Kartu Identitas Kendaraan |
KIK: Kartu Identitas Kuning |
Akan tetapi bagi saya yang sudah mulai membawa motor, ini sama sekali bukan solusi. Pernah ada tawaran solusi berupa single card dari KTM. Tapi toh memang itu tidak dapat melacak identitas kendaraan. Selain itu beberapa mahasiswa berkomentar itu ribet, hei, mau solusi atau apatis?? Hmm. Ada juga di beberapa lokasi yang menggunakan STNK sebagai identitas kendaraan. Salah satunya di Sekolah Vokasi dan Rumah Sakit Hewan. Menurut saya itu cukup solutif, dibandingkan menggunakan kertas kuning.
Mengapa?
Ya jelas, kertas itu dibuat dari pohon, lho. Bayangkan jika kita harus menebang entah berapa ribu pohon hanya untuk menulis nomor kendaraan. Penting sih, tapi saya rasa masih ada solusi lainnya. Saya sendiri mahasiswa yang cukup nakal. Saya bertahan menggunakan kartu kuning tersebut tidak lebih dari dua bulan. Setelah itu saya hanya tersenyum dan menyapa bapak menjaga. Saya sering nyelonong ketika masuk ataupun keluar. Saya rasa bapaknya sampai hafal kepada saya, karena saya sering kepergok tidak memiliki kartu tersebut. Kadang ada yang cuek, ada pula yang melirik saya. Saya hanya berdoa, semoga Allah mengampuni kita.
Terlepas dari itu semua, ini memang permasalahan yang cukup kompleks. Di satu sisi, UGM adalah kampus kerakyatan, kampus hijau. Tetapi di sisi lain kendaraan bermotor memang sebuah kebutuhan bagi mahasiswa. Mungkin saya memang tidak bisa menuntut adanya KIK (Kartu Identitas Kendaraan) lagi, tapi suatu saat saya bermimpi UGM akan memiliki kawasan tersendiri dengan kendaraan yang mengantar berkeliling kampus, ya semacam di kampus sebelah (sebelah jauh :D). Untuk sementara memang menjadi nakal tersebt pilihan saya. Semoga Allah mengampuni kita, dan semoga segera ada solusi terbaik.
Selesai ditulis di Perpustakaan Pusat UGM
Selasa, 29 Apri 2014 19:45
Selasa, 29 Apri 2014 19:45
Andika Putri Firdausy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar