Senin, 18 April 2016

Senin Bersama Ayah

My first love, and my heroes ever after, I just hope He gimme chance to give my best for you. Not only in this Dunya, but also over there, in Akhirah. 
Sepagi ini, tepat Senin yang lalu, aku dan Ayah baru saja kembali ke rumah. Sejak matahari belum menyingsing, kami mulai menelusuri jalanan pantura yang memadat di senin pagi. Matahari terbit di atas Sungai Brantaspun menyapa kami. Kokohnya Arjuna dan Welirang juga mengiringi langkah kami.

Ayah mengajakku berkeliling. Menikmati sepoi angin dan rintik hujan di pagi hari. Pagi yang menyenangkan, bersama orang yang menenangkan.
Sebenarnya, tujuan utama kami berjalan-jalan adalah untuk survei pra lapangan scriptsweet. Ayah rela memotong jam kerjanya untuk mengantarkanku. Ya, hanya Ayah yang bisa mengantarku kesana-kemari. Satu-satunya lelaki yang sampai saat ini kujatuhkan hatiku padanya. Ia yang selalu memesona dan bersahaja.

Kami berjalan menyusuri Sungai Porong, anak Sungai Brantas, yang mengarah ke laut di Kecamatan Jabon. Sungai ini pula yang menjadi salah satu outket luapan lumpur Lapindo yang saat ini tengah menjadi subjek penelitianku. Ayah menunjukkan aku banyak hal, yang bahkan tidak aku temui di tumpukan buku di rak perpustakaan, atau lembaran-lembaran jurnal yang telah ku cetak. Ayah mengajarkan lebih dari semua itu.

Tempat kami berpijak memang sudah tidak asing lagi bagi Ayah. Dulu, hampir 26 tahun yang lalu saat Ayah masih bujang, Ayah pernah bekerja disini, menjadi juru administrasi di tambak milik Pak Malik. Namun sekarang, kantor Ayah sudah berubah menjadi warung. Akan tetapi, tambak-tambak ikan dan udang itu masih lestari sampai saat ini.
Kami berjalan mendekati sungai. Ayah menunjukkan Pulau Dem yang merupakan endapan sedimen sejak belasan atau mungkin puluhan tahun yang lalu. Saking luasnya, 'pulau' ini sudah ditumbuhi banyak mangrove dan bahkan banyak warga melakukan aktivitas disana. Beberapa perahu/sampan sengaja disewakan untuk menyeberang ke pulau ini. Kami juga bertemu dengan seorang bapak yang bekerja membangun dermaga disana. Dermaga lokal, mungkin milik salah seroang pemilik tambak disana, kata Ayah.

Matahari mulai meninggi. Kami tidak bisa berjalan terlalu jauh karena akses yang kurang memadai. Selain itu, Ayah sudah terlambat pergi bekerja. Semakin lama, akan mempengaruhi presensi kehadiran Ayah di kantor. Setelah dirasa cukup, kami kembali pulang. Melewati jalan kampung untuk memotong jarak agar lebih cepat.
Rintik hujan dan terik mentari mengiringi putaran roda motor kami. Sesekali kami menyapa warga yang sedang beraktivitas menuju tambak atau sawah. Kami menikmati saat-saat berharga ini. Aku, lebih tepatnya.
 
Kemarin Ibu mengabarkan bahwa Ayah sedang sakit, mungkin kelelahan karena hampir setiap pekan Ayah tidak pernah di rumah. Ada saja hal yang harus diselesaikan Ayah. Ah, Ayah selalu begitu. Tidak pernah merasa lelah dan tidak akan mau beristirahat meski hari libur sekalipun. Semua itu tidak pernah menghalangi Ayah untuk beraktifitas. Semoga Allah senantiasa menganugerahkan nikmat iman dan sehat pada Ayah.

Allah, jagalah Ayah, juga Ibu. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil.

Desember, 2015 - Merapi
Like father like daughter. I love you from the moon to the sky, and back, Ayah.


Yogyakarta, 18 April 2016 08:00

Love,
Your copied-oldest-daughter


Berkumpul di Jannah