Selasa, 05 Desember 2017

Zona Waktu

Bukankah zona waktu yang kita alami sebenarnya amat bergantung pada diri kita sendiri?

Sadarkah ketika kita sedang sibuk-sibuknya, waktu terasa mengalir begitu saja. Baru berangkat tiba-tiba udah dhuhur. Baru kerja dikit udah ashar. Baru lanjut lagi udah maghrib, waktunya pulang. Masih di jalan udah isya'. Baru sampai rumah dan istirahat tiba-tiba udah shubuh aja dan harus mulai beraktivitas lagi.

Jenuh.

Dan terasa sekali bahwa waktu-waktu sholat itu menjadi jeda untuk beristirahat yang amat berharga. (Kemudian mikir, bener aja yang katanya sholat itu istirahat yang menenangkan dan ingin terus diulang :” *lagilurus*) Tidak ada alasan lain yang akan ditolerir dalam kerasnya dunia kerja. Kita juga tidak mau menjadikan sakit sebagai jeda bukan? Tentu saja. Siapa juga yang mau merasakan keletihan dan kesendirian di tanah rantauan? Rasanya, ingin segera mengakhiri semua keruwetan hidup ini. Pekerjaan yang tak henti menghampiri, tanggungjawab yang tak lepas menggelayuti. Bagaimana aku bisa menikmati hidup, Tuhan? Aku hanya butuh berhenti sejenak. Tolong lepas aku dari semua hiruk pikuk dunia ini...

Dan tak lama, Ia mengabulkan harapanmu.

Kau tiba di satu titik untuk berhenti, menjeda dari segala aktivitasmu, beristirahat sejenak dari segala beban hidupmu. Hari-harimu dipenuhi dengan istirahat-istirahat panjang. Kau bebas melakukan apapun yang kau suka. Tapi, lama-lama, kau bingung sendiri bagaimana cara membunuh waktu? Kenapa jeda antar sholat yang terasa singkat sekarang seakan berabad?

Kau bangun di shubuh hari dan membunuh waktu dengan berbagai pekerjaan rumah. Menyapu, mencuci, memasak, tapi tetap saja masih pagi. Apalagi yang harus aku lakukan? Teriakmu dalam hati. Akhirnya, tiba juga waktu dhuhur. Setelah kelelahan dengan berbagai pekerjaan rumah, sejenak kau mengistirahatkan diri, tapi tak bisa. Kau buka smartphone untuk berharap rasa kantuk hadir dan membunuh waktu. Gagal. Kau masih saja tenggelam dalam dunia maya, hingga tak sadar adzan ashar memanggil. Kau beranjak, tapi masih juga bingung, apa yang sebenarnya aku lakukan?, keluhmu lagi. Menunggu maghrib, kadang kau isi dengan membaca buku, atau sekedar membantu ibu di dapur menyiapkan hidangan makan malam. Tak lama, malam menjelang, sudah adzan isya. Sedikit bercengkrama, lalu kau merebahkan diri di ‘pulau impian’. Dan ketika terbangun di penghulu shubuh, akhirnya kau berkata, ah, aku bosan hidup seperti ini. tidak adakah kesibukan yang bisa aku selesaikan? Kau menggerutu. Lagi.

Memang begitu. Apa yang kita rasakan seringnya menjemukan. Kita seringnya lebih mensyukuri kehidupan yang telah kita lewati, bukan yang sedang kita jalani. Atau bahkan seringnya kita lebih mensyukuri kehidupan orang lain? Entahlah. Akan tetapi, sadarkah bahwa sebenarnya itu yang membuat hati menjadi lebih sempit? Terus merutuki diri dan keadaan yang tak terkendali. Memang, manusia bisa apa? padahal sebenarnya, kita hanya berada di zona yang berbeda saja. Tidak semua yang kita lakukan, harus dilakukan orang lain. Tidak juga yang menjadi tanggungjawab oranglain, harus juga menjadi urusan kita. Tidak begitu. Kita memiliki hidup kita masing-masing. Berhentilah membanding-bandingkan.

Dua kuncinya: sabar dan syukur. Sabar ketika sedang diuji masalah, dan syukur ketika sedang mendapat rezeki yang berlimpah. Keduanya, akan menjadikan diri lebih memahami arti hidup ini. Agar, tidak lelah dengan pengharapan dan pencapaian orang lain. Agar, kita bisa lebih memaknai dan menghargai diri dan hidup kita masing-masing.

Tapipun, kadang itu semua belum cukup untuk meredam gejolak diri untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Disini, ikhlas semestinya akan menjadi penawar dari segala keresahan hati yang tak terperi. Lakukanlah apa yang kamu mau, berikanlah yang terbaik yang kamu bisa. Jangan pernah ragu. Jangan pernah menyesal. Kunci dari keberhasilan adalah pantang menyerah. Jika kau gagal saat ini, bukankah itu justru membuka peluang untukmu berhasil lebih besar? Lalu apa lagi yang kamu cari?

Teruntuk kamu, yang pernah merasa begitu tertekan dengan kerasnya dunia... Juga kamu, yang pernah merasa dicampakkan dunia...

Teruslah melakukan yang terbaik. Lakukan apa yang membuatmu terus bertahan. Lakukan apa yang membuatmu bisa bermanfaat. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti sampai kamu tidak kuat berjalan lagi. Di ujung jalan, kamu akan menemukan bahwa kebahagiaan sejati memang pantas untuk diperjuankan.
Selamat berjuang!

Yogyakarta,
2 Desember 2017
Sesama teman berjuang,


#PutriPejuang

Berkumpul di Jannah