My first love, and my heroes ever after, I just hope He gimme chance to give my best for you. Not only in this Dunya, but also over there, in Akhirah. ♥
Sepagi ini, tepat Senin yang lalu, aku
dan Ayah baru saja kembali ke rumah. Sejak matahari belum menyingsing, kami
mulai menelusuri jalanan pantura yang memadat di senin pagi. Matahari terbit di
atas Sungai Brantaspun menyapa kami. Kokohnya Arjuna dan Welirang juga mengiringi
langkah kami.
Ayah mengajakku berkeliling. Menikmati
sepoi angin dan rintik hujan di pagi hari. Pagi yang menyenangkan, bersama
orang yang menenangkan.
Sebenarnya, tujuan utama kami
berjalan-jalan adalah untuk survei pra lapangan scriptsweet. Ayah rela memotong jam kerjanya untuk mengantarkanku. Ya,
hanya Ayah yang bisa mengantarku kesana-kemari. Satu-satunya lelaki yang sampai
saat ini kujatuhkan hatiku padanya. Ia yang selalu memesona dan bersahaja.
Kami berjalan menyusuri Sungai Porong,
anak Sungai Brantas, yang mengarah ke laut di Kecamatan Jabon. Sungai ini pula
yang menjadi salah satu outket luapan lumpur Lapindo yang saat ini tengah
menjadi subjek penelitianku. Ayah menunjukkan aku banyak hal, yang bahkan tidak
aku temui di tumpukan buku di rak perpustakaan, atau lembaran-lembaran jurnal
yang telah ku cetak. Ayah mengajarkan lebih dari semua itu.
Tempat kami berpijak memang sudah tidak
asing lagi bagi Ayah. Dulu, hampir 26 tahun yang lalu saat Ayah masih bujang,
Ayah pernah bekerja disini, menjadi juru administrasi di tambak milik Pak Malik. Namun sekarang, kantor Ayah sudah berubah menjadi warung. Akan tetapi,
tambak-tambak ikan dan udang itu masih lestari sampai saat ini.
Kami berjalan mendekati sungai. Ayah
menunjukkan Pulau Dem yang merupakan endapan sedimen sejak belasan atau mungkin
puluhan tahun yang lalu. Saking luasnya, 'pulau' ini sudah ditumbuhi banyak
mangrove dan bahkan banyak warga melakukan aktivitas disana. Beberapa perahu/sampan
sengaja disewakan untuk menyeberang ke pulau ini. Kami juga bertemu dengan
seorang bapak yang bekerja membangun dermaga disana. Dermaga lokal, mungkin milik salah seroang pemilik tambak disana,
kata Ayah.
Matahari mulai meninggi. Kami tidak bisa
berjalan terlalu jauh karena akses yang kurang memadai. Selain itu, Ayah sudah
terlambat pergi bekerja. Semakin lama, akan mempengaruhi presensi kehadiran
Ayah di kantor. Setelah dirasa cukup, kami kembali pulang. Melewati jalan
kampung untuk memotong jarak agar lebih cepat.
Rintik hujan dan terik mentari mengiringi
putaran roda motor kami. Sesekali kami menyapa warga yang sedang beraktivitas
menuju tambak atau sawah. Kami menikmati saat-saat berharga ini. Aku, lebih
tepatnya.
Kemarin Ibu mengabarkan bahwa Ayah sedang
sakit, mungkin kelelahan karena hampir setiap pekan Ayah tidak pernah di rumah.
Ada saja hal yang harus diselesaikan Ayah. Ah, Ayah selalu begitu. Tidak pernah
merasa lelah dan tidak akan mau beristirahat meski hari libur sekalipun. Semua itu
tidak pernah menghalangi Ayah untuk beraktifitas. Semoga Allah senantiasa
menganugerahkan nikmat iman dan sehat pada Ayah.
Allah, jagalah Ayah, juga Ibu. Sayangilah
mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil.
Desember, 2015 - Merapi |
Like father like daughter. I love you from
the moon to the sky, and back, Ayah. ♥
Yogyakarta, 18 April 2016 08:00
Love,
Your copied-oldest-daughter
pu uuuuuu :"))
BalasHapusRamadhan kemarin gajadi ke maskam pas ada abi-nya Ummi T,T kl pas ke jogja lagi kabarin dong Mi... :3
Hapus