Selalu merasa ada yang kurang jika tidak ditulis dengan lengkap :D jadi menulisnya terlalu bersemangat wkwk. Semoga menjadi pengingat ketika diri mulai ‘melemah’...
Akan selalu ada kerinduan terhadap Al-Quran
Mari kita awali dengan gambar yang menambah semangat :D
Keceriaanmu, nak, yang selalu bahagiakan hari-hariku :3 |
Al-Quran adalah ayat-ayat langit yang bisa mengubah hati masyarakat bumi yang pening menjadi bening.
Hati pening: apa-apa terlihat pening, wajah tidak suka terhadap suatu hal.
Contoh, keluar masjid, melihat sendal kita terbalik, ck ck, siapa sih yang balik sendal. Lihat sampah, ck, siapa sih buang sampah sembarangan, dan lain sebagainya.
Kira-kira itu hati yang bening apa pening? Kita lebih sering mana?
Nah Al-Quran bisa mengantarkan hati dari pening menjadi bening. Kita terus bersama Quran, pening akan menjadi bening. Jika kita teruuus bersama Quran, bening menjadi hening.
Hening adalah suasana teruus bersama Allah. Kalau bening itu suasana berpikir jernih, alhamdulillah jadi ladang amal bagi saya, sabar, ikhlas. Suasana hening, dimana kita merasa hanya bersama Allah swt. Tapi bukan berarti mengabaikan yang lain, yang lain tetap diperhatikan, tapi menjadi sarana untuk lebih dekat kepada Allah.
Orang dalam suasana hening, bukan berarti tidak kenal dengan orangtuanya, tapi menjadikan orangtua sebagai sarana menjadi lebih dekat sama Allah, sarana birrul walidain. Tetangga, menjadi sarana kita lebih dekat kepada Allah, dan semua yang ada di sekitar menjadi sarana kita bertambah dekat kepada Allah.
Termasuk dalam hal merasa sakitnya disakiti orang. Bukan berarti membiarkan orang lain menyakiti dia, tapi menjadi sarana supaya menjadi lebih dekat kepada Allah, dia maafkan orang yang menyakiti dia.
Ma fi qolbi ghoirullah, tiadalah dalam hati saya selain Allah. Hanya Allah yang ada di hati saya, itu orang yang sudah merasakan hening. Kalau hal seperti sebuah rumah yang penuh dengan ruang-ruang, kita masuki ruang-ruang dalam hati tidak dijumpai apapun selain Allah. Hening adalah buah dari beningnya hati yang terus berinteraksi dengan Quran. Dan beningnya adalah buah dari penningnya hati yang terus berinteraksi dengan Quran. Quran tidak pernah bisa lepas atau jauh dari hati.
Ma fi qolbi ghoirullah, berkaitan dengan Quran, adalah kepada Ahlul Quran. Rasul pernah mengajarkan doa: Allahumaj’alna min Ahlil Qur’an, jadikanlah kami ya Allah, ahli Quran (keluarga AlQuran).
Keluarga=sangat dekat. Ahlul Quran, merasakan hening. Adalah mereka yang menjadi ahliMu (keluarga Allah). Keluarga Quran adalah bagian dari keluarga Allah, menunjukkan sangat dekat dengan Allah. Ahlul Quran punya prinsip: di hati saya tidak ada yang lain selain Allah. Analogi keluarga: dalam hati suami yang ada hanya istrinya. Jika ada orang yang masih menyimpan nama lain selain Allah, orang macam apa ini, hamba macam apa. Orang-orang yang Engkau khususkan.
Pengkhususan Alquran kepada Ahlul Quran. Rasul menyebut bahwa Ahlul Quran dikhususkan oleh Allah. Kalau kita mencintai Alquran sampai mejadi bagiannya, maka AlQuran akan memberi sikap khusus kepada para pencintanya.
Pertama, alquran itu menenangkan, menenangkan jiwa.
Kedua, membahagiakan,
Ketiga, mendamaikan, membuat kita menjadi damai.
Rasa tenang, Kapan? Setiap waktu, setiap saat. Tetapi rasa tenang akan lebih terasa ketika ada interaksi khusus antara kita pada AlQuran, interaksi paling awal adalah saat melihat mushaf, ketenangan sudah hadir ke hati kita, apalagi membuka, membaca, mendengarkan, mentadabburi, menghafalkan, mengajarkan... Ketenangan akan lebih menyelimuti hati kita.
Perasaan para pencinta AlQuran ada tiga, yang timbul karena kecintaannya pada alquran: tenang, bahagia, dan damai.
Apalagi yang kita cari dalam hidup kalau bukan ketiganya? Tenang, damai, bahagia.. kan sudah cukup. Dan itu bisa kita dapatkan dengan AlQuran, bukan dengan uang. Orang beruang masih juga ada yang susah. Sumber damai adalah AlQuran sampai kita menjadi Ahlul Quran.
Pertama: Tenang.
Tenangnya Ahlul Quran berarti jauhnya diri dari segala kecemasan betapapun sumber kecemasan ada di depan dirinya dan siap menerkam. Ahlul Quran tetap tenang. Adakah kita sudah tenang? :” Rasa tenang ini oleh ahlul hikmah disebut: assakinah ma’allah, ketenangan bersama Allah. Tidak akan bisa dipegaruhi waktu, tempat, dan keadaan. Akan tetapi tenang.
Kalau orang tenangnya sudah bersama Allah, tidak akan goyah.
Mari kita berguru pada orang-orang tersebut. Misalnya Sayyid Quthb, interaksi dengan Qurannya sangat kuat. Dan mendorong untuk menulis tafsir Fii Dhilalil Quran. Kita tidak cukup memahami Quran dari satu kitab tafsir saja, karena tiap kitab ‘rasa’ nya berbeda. Kalau Fii Dhilalil Quran rasanya adalah rasa yang menggerakkan, rasa haroki. Akibat komitmen Sayyid pada kebenaran, beliau difitnah, dijebloskan ke penjara dan divonis hukuman gantung. Adakah beliau merasa cemas?
Al mulk di tafsir beliau: AlQuran adalah jendela kehidupan yang membuat kita mengerti dan merasakan betapa hidup ini luas dan indah. Jendela kehidupan. Kalau kita merasakan kehidupan ini merasa sempit maka lihatlah AlQuran, kau akan melihat jendela kehidupan. (Kamar, kalau ingin terliha luas, liat tembok yang ada jendelanya).
QS 2;154, janganlah kalian mengatakan bahwa mereka yang terbunuh di jalan Allah itu mati...
Jendela kehidupan ini yang membuat beliau melihat tiang gantungan itu bukan sebuah peristiwa untuk cemas, justru saat tiang gantung sudah ada di atas kepala beliau, seperti lambaian tangan. Menyimpan sebuah kebahagiaan yang luar biasa, bukan kecemasan. Beliau adalah sosok yang assakinah ma’allah. Bukankah kematian adalah gerbang untuk bertemu dengan Allah?
Kisah pada QS. Assyuara’, kisah Nabi Musa dan kaumnya di laut merah, yang cemas karena dikejar Fir'aun, tapi Nabi Musa tetap tenang, karena sesungguhnya bersamaku ada Allah, Dia akan memberikan petunjuknya kepadaku.
Inilah AlQuran menjadi sumber ketenangan hakiki karena kita selalu merasa bersama Allah swt. AlQuran bisa mengantarkan kita ke kondisi assakinah ma’allah, yang akan mendorong kita melakukan muwafaqoh. Tapi bukan berarti meninggalkan kehidupan dunia. Kalau orang hanya berhenti tenang tapi setelah itu dia tidak melakukan apa-apa, berarti dia tertipu oleh rasa tenangnya, yang dimasukkan oleh setan.
‘Saya tetap tenang kok meski ga sholat shubuh’,
‘Saya tenang tidak melakukan kerja apapun’
Muwafaqoh, adalah next step, yaitu tunduk pasrah terhadap kehendak (takdir), pasrah menyerah, tidak mengeluh dan keinginan (hukum Allah).
Allah ingin kita sholat jamaah tepat waktu. Kita tunduk dengan kehendak dan keinginan Allah, pasrah menyerah. Sikap ini merupakan manivestasi.
Kedua: Bahagia.
Berarti tumbuhnya bunga-bunga keceriaan saat melihat yang lain nampak ceria. Itulah bahagianya orang yang sudah dekat dengan AlQuran, Ahlul Quran. Sebab kehidupan ini seperti taman bunga. Seindah apapun sebuah bunga, jika tumbuh sendirian di taman bunga, tidak akan disebut taman bunga. Taman bunga yang indah jika bertemu dengan yang lain, dan yang lain juga dalam keadaan ceria.
Bahagia karena AlQuran bahagianya tidak pernah dirasakan sendiri. Dia selalu bahagia melihat orang lain bahagia. Ini tidak mudah. Bahagia bisa berbagai ilmu dengan orang lain. Ada makanan enak, dimakan sendiri di kamar, bukan bahagianya Ahlul Quran. Ikhlas berbagi dengan yang lain, bahagianya Ahlul Quran, saadah ma’annas.
Umar bin Khattab: “Siapapun orang yang menginginkan sesuatu dengan sangat kemudian dia menolaknya dan mengitsarkannya ke orang lain, Allah akan mengampuni dosa dia”, sabda Nabi. Kebahagiaan Ahlul Quran ada pada saat dia bisa menjadi jalan bagi bahagia orang lain. Bahagia saya adalah saat orang lain bahagia. Ahlul Quran berpikir bisa membuat bahagia orang lain.
Ketiga: Damai
Tumbuhnya bunga-bunga kebaikan di taman hati kita. Damai itu dengan kita, bukan dengan orang lain. Akan terasa jika di hati kita tumbuh bunga-bunga kebaikan yang terhiasai sifat yang membahagiakan dan memuliakan diri, bunga tawadhu, sabar, qanaah. Orang lain pun akan melihat sebagai pribadi yang sangat indah. Pada saat yang sama akan sirnanya segala keburukan yang ada di hati. Hati kita bersih dari sifat buruk yang merugikan diri.
Inilah AlQuran...
Suara hening dari langit yang mengalir mengisi setiap lubuk hati yang telah mendanau bening, menjauh dari rawa pening. Teruslah bersama AlQuran, seperti apapun keadaan hati kita.
Buatlah keputusan besar hingga Allah merasa iba dan pertolongan Allah turun. Setelah membuat keputusan besar, lakukan dengan semaksimal kemampuan kita, betul-betul kita mencurahkan kemaksimalan dalam keputusan itu.
Kebersamaan dengan AlQuran memang medan magnet yang menarik kuat kebaikan yang ada di sekitar. Semakin kuat interaksi dengan AlQuran, semakin banyak kebajikan yang mengelilingi kita, pula, kemunkaran semakin menjauhi kita. Sebaliknya, ketika interaksi kita dengan AlQuran berkurang, segala hal yang ada di sekitar menjadi kurang bertenaga, seakan medan magnet mulai melemah, dan keburukan rentan mendekat.
Kedekatan kita bersama AlQuran akan menciptakan keberkahan dalam setiap hal yang kita lakukan dan setiap waktu yang kita lewatkan. Semua terasa mudah jika hati kita dekat dengan AlQuran, dan semakin mendekat padaNya.
Kadang, capek sih tilawah. Juga kadang, kesel sih diulang-ulang tapi engga hafal-hafal. Atau, waktunya setoran tapi masih kosong di kepala. Tapi, semua itu nikmat yang perlu disyukuri. Sekuat apa kita bertahan, berlama-lama dalam buaian cintaNya, dalam balut kata cintaNya.
Sering juga sih, males berangkat ke TPQ. Ogah bertemu bocah yang menguras emosi. Belum lagi kalau hujan deras mengguyuri, makin-makin lah mager kalau harus kesana-sini. Tapi, semua itu nikmat yang perlu disyukuri. Jariyah yang bisa dibawa mati, karena bekal kembali tidak tahu sampai kapan bisa dicari.
Atau, bosan juga datang ke MMQ. Selalu sibuk kalau harus hadir muthola’ah. Dan segala tetek-bengeknya. Tapi, semua itu harus disyukuri. Namanya guru juga harus belajar lagi. Namanya ilmu juga harus diulangi lagi, diajarkan terus, supaya semakin nempel lagi.
Man ta’allamal Qur’ana wa’allamahu.
Semoga Engkau kekalkan iman di hati-hati kami. Engkau kekalkan kecintaan kami padaMu dan kalamMu. Engkau kokohkan langkah kami menuju majelis ilmuMu.
Selasa, 7 Februari 2017
Andika Putri Firdausy
Ma fi qolbi ghoirullah, berkaitan dengan Quran, adalah kepada Ahlul Quran. Rasul pernah mengajarkan doa: Allahumaj’alna min Ahlil Qur’an, jadikanlah kami ya Allah, ahli Quran (keluarga AlQuran).
Keluarga=sangat dekat. Ahlul Quran, merasakan hening. Adalah mereka yang menjadi ahliMu (keluarga Allah). Keluarga Quran adalah bagian dari keluarga Allah, menunjukkan sangat dekat dengan Allah. Ahlul Quran punya prinsip: di hati saya tidak ada yang lain selain Allah. Analogi keluarga: dalam hati suami yang ada hanya istrinya. Jika ada orang yang masih menyimpan nama lain selain Allah, orang macam apa ini, hamba macam apa. Orang-orang yang Engkau khususkan.
Pengkhususan Alquran kepada Ahlul Quran. Rasul menyebut bahwa Ahlul Quran dikhususkan oleh Allah. Kalau kita mencintai Alquran sampai mejadi bagiannya, maka AlQuran akan memberi sikap khusus kepada para pencintanya.
Pertama, alquran itu menenangkan, menenangkan jiwa.
Kedua, membahagiakan,
Ketiga, mendamaikan, membuat kita menjadi damai.
Rasa tenang, Kapan? Setiap waktu, setiap saat. Tetapi rasa tenang akan lebih terasa ketika ada interaksi khusus antara kita pada AlQuran, interaksi paling awal adalah saat melihat mushaf, ketenangan sudah hadir ke hati kita, apalagi membuka, membaca, mendengarkan, mentadabburi, menghafalkan, mengajarkan... Ketenangan akan lebih menyelimuti hati kita.
Perasaan para pencinta AlQuran ada tiga, yang timbul karena kecintaannya pada alquran: tenang, bahagia, dan damai.
Apalagi yang kita cari dalam hidup kalau bukan ketiganya? Tenang, damai, bahagia.. kan sudah cukup. Dan itu bisa kita dapatkan dengan AlQuran, bukan dengan uang. Orang beruang masih juga ada yang susah. Sumber damai adalah AlQuran sampai kita menjadi Ahlul Quran.
Pertama: Tenang.
Tenangnya Ahlul Quran berarti jauhnya diri dari segala kecemasan betapapun sumber kecemasan ada di depan dirinya dan siap menerkam. Ahlul Quran tetap tenang. Adakah kita sudah tenang? :” Rasa tenang ini oleh ahlul hikmah disebut: assakinah ma’allah, ketenangan bersama Allah. Tidak akan bisa dipegaruhi waktu, tempat, dan keadaan. Akan tetapi tenang.
Kalau orang tenangnya sudah bersama Allah, tidak akan goyah.
Mari kita berguru pada orang-orang tersebut. Misalnya Sayyid Quthb, interaksi dengan Qurannya sangat kuat. Dan mendorong untuk menulis tafsir Fii Dhilalil Quran. Kita tidak cukup memahami Quran dari satu kitab tafsir saja, karena tiap kitab ‘rasa’ nya berbeda. Kalau Fii Dhilalil Quran rasanya adalah rasa yang menggerakkan, rasa haroki. Akibat komitmen Sayyid pada kebenaran, beliau difitnah, dijebloskan ke penjara dan divonis hukuman gantung. Adakah beliau merasa cemas?
Al mulk di tafsir beliau: AlQuran adalah jendela kehidupan yang membuat kita mengerti dan merasakan betapa hidup ini luas dan indah. Jendela kehidupan. Kalau kita merasakan kehidupan ini merasa sempit maka lihatlah AlQuran, kau akan melihat jendela kehidupan. (Kamar, kalau ingin terliha luas, liat tembok yang ada jendelanya).
QS 2;154, janganlah kalian mengatakan bahwa mereka yang terbunuh di jalan Allah itu mati...
Jendela kehidupan ini yang membuat beliau melihat tiang gantungan itu bukan sebuah peristiwa untuk cemas, justru saat tiang gantung sudah ada di atas kepala beliau, seperti lambaian tangan. Menyimpan sebuah kebahagiaan yang luar biasa, bukan kecemasan. Beliau adalah sosok yang assakinah ma’allah. Bukankah kematian adalah gerbang untuk bertemu dengan Allah?
Kisah pada QS. Assyuara’, kisah Nabi Musa dan kaumnya di laut merah, yang cemas karena dikejar Fir'aun, tapi Nabi Musa tetap tenang, karena sesungguhnya bersamaku ada Allah, Dia akan memberikan petunjuknya kepadaku.
Inilah AlQuran menjadi sumber ketenangan hakiki karena kita selalu merasa bersama Allah swt. AlQuran bisa mengantarkan kita ke kondisi assakinah ma’allah, yang akan mendorong kita melakukan muwafaqoh. Tapi bukan berarti meninggalkan kehidupan dunia. Kalau orang hanya berhenti tenang tapi setelah itu dia tidak melakukan apa-apa, berarti dia tertipu oleh rasa tenangnya, yang dimasukkan oleh setan.
‘Saya tetap tenang kok meski ga sholat shubuh’,
‘Saya tenang tidak melakukan kerja apapun’
Muwafaqoh, adalah next step, yaitu tunduk pasrah terhadap kehendak (takdir), pasrah menyerah, tidak mengeluh dan keinginan (hukum Allah).
Allah ingin kita sholat jamaah tepat waktu. Kita tunduk dengan kehendak dan keinginan Allah, pasrah menyerah. Sikap ini merupakan manivestasi.
'Sesungguhnya hidup mati ibadahku hanya untuk Allah.'
Kalau orang miskin berkata, 'yaudahlah ini takdir Allah, yang penting saya tenang dalam takdir Allah’, ini bukan muwafaqoh. Dia harus tetap berbuat dengan miskin/kayanya. Karena selama satu kehendak Allah, disana terangkai kehendak-kehendak Allah yang lain yang lebih baik. Apa maksud Allah menakdirkan saya miskin? Ooh supaya saya bekerja lebih sungguh supaya mendapatkan yang lebih baik di sisi Allah, bukan pasrah dan doing nothing, kalau begitu tidak akan bisa tenang bersama Allah.
Apapun kehendak Allah adalah ladang amal untuk kita mendekat kepada Allah. Berhasil ladang amal, gagal ladang amal. Miskin ladang amal, kaya ladang amal. Menjadi perempuan juga ladang amal. Apapun kita terima dengan lapang, tidak pantas kita mengeluh dengan segala yang ada pada diri kita. Karena semua yang dikehendaki Allah pada diri kita adalah yang terbaik untuk diri kita.
Menjadikan keikhlasan untuk memasuki kehidupan yang segalanya adalah baik. Ikhlas menerima dengan lapang segala yang pahit, akan membuat kita selalu tenang bersama Allah. Bukan berarti hidupnya benar-benar jauh dari kecemasan, bisa jadi sangat dekat dengan sumber kecemasan tetapi semakin menguatkan ketenangnnya bersama Allah.Kedua: Bahagia.
Berarti tumbuhnya bunga-bunga keceriaan saat melihat yang lain nampak ceria. Itulah bahagianya orang yang sudah dekat dengan AlQuran, Ahlul Quran. Sebab kehidupan ini seperti taman bunga. Seindah apapun sebuah bunga, jika tumbuh sendirian di taman bunga, tidak akan disebut taman bunga. Taman bunga yang indah jika bertemu dengan yang lain, dan yang lain juga dalam keadaan ceria.
Bahagia karena AlQuran bahagianya tidak pernah dirasakan sendiri. Dia selalu bahagia melihat orang lain bahagia. Ini tidak mudah. Bahagia bisa berbagai ilmu dengan orang lain. Ada makanan enak, dimakan sendiri di kamar, bukan bahagianya Ahlul Quran. Ikhlas berbagi dengan yang lain, bahagianya Ahlul Quran, saadah ma’annas.
Umar bin Khattab: “Siapapun orang yang menginginkan sesuatu dengan sangat kemudian dia menolaknya dan mengitsarkannya ke orang lain, Allah akan mengampuni dosa dia”, sabda Nabi. Kebahagiaan Ahlul Quran ada pada saat dia bisa menjadi jalan bagi bahagia orang lain. Bahagia saya adalah saat orang lain bahagia. Ahlul Quran berpikir bisa membuat bahagia orang lain.
Ketiga: Damai
Tumbuhnya bunga-bunga kebaikan di taman hati kita. Damai itu dengan kita, bukan dengan orang lain. Akan terasa jika di hati kita tumbuh bunga-bunga kebaikan yang terhiasai sifat yang membahagiakan dan memuliakan diri, bunga tawadhu, sabar, qanaah. Orang lain pun akan melihat sebagai pribadi yang sangat indah. Pada saat yang sama akan sirnanya segala keburukan yang ada di hati. Hati kita bersih dari sifat buruk yang merugikan diri.
Inilah AlQuran...
Suara hening dari langit yang mengalir mengisi setiap lubuk hati yang telah mendanau bening, menjauh dari rawa pening. Teruslah bersama AlQuran, seperti apapun keadaan hati kita.
Buatlah keputusan besar hingga Allah merasa iba dan pertolongan Allah turun. Setelah membuat keputusan besar, lakukan dengan semaksimal kemampuan kita, betul-betul kita mencurahkan kemaksimalan dalam keputusan itu.
***
Kebersamaan dengan AlQuran memang medan magnet yang menarik kuat kebaikan yang ada di sekitar. Semakin kuat interaksi dengan AlQuran, semakin banyak kebajikan yang mengelilingi kita, pula, kemunkaran semakin menjauhi kita. Sebaliknya, ketika interaksi kita dengan AlQuran berkurang, segala hal yang ada di sekitar menjadi kurang bertenaga, seakan medan magnet mulai melemah, dan keburukan rentan mendekat.
Kedekatan kita bersama AlQuran akan menciptakan keberkahan dalam setiap hal yang kita lakukan dan setiap waktu yang kita lewatkan. Semua terasa mudah jika hati kita dekat dengan AlQuran, dan semakin mendekat padaNya.
Kadang, capek sih tilawah. Juga kadang, kesel sih diulang-ulang tapi engga hafal-hafal. Atau, waktunya setoran tapi masih kosong di kepala. Tapi, semua itu nikmat yang perlu disyukuri. Sekuat apa kita bertahan, berlama-lama dalam buaian cintaNya, dalam balut kata cintaNya.
Sering juga sih, males berangkat ke TPQ. Ogah bertemu bocah yang menguras emosi. Belum lagi kalau hujan deras mengguyuri, makin-makin lah mager kalau harus kesana-sini. Tapi, semua itu nikmat yang perlu disyukuri. Jariyah yang bisa dibawa mati, karena bekal kembali tidak tahu sampai kapan bisa dicari.
Atau, bosan juga datang ke MMQ. Selalu sibuk kalau harus hadir muthola’ah. Dan segala tetek-bengeknya. Tapi, semua itu harus disyukuri. Namanya guru juga harus belajar lagi. Namanya ilmu juga harus diulangi lagi, diajarkan terus, supaya semakin nempel lagi.
Man ta’allamal Qur’ana wa’allamahu.
Semoga Engkau kekalkan iman di hati-hati kami. Engkau kekalkan kecintaan kami padaMu dan kalamMu. Engkau kokohkan langkah kami menuju majelis ilmuMu.
Allahumarhamna bil Qur’an..
Waj’alhulana imaman wa nuran wa hudan wa rahmah. Allahumadzakkirna minhuma nasina wa’allimna minhuma jahilna warzuqna tilawatahu. Ana allaili waathro fannahar. Waj’alhulana hujjatan yaa robbal’alamin.
Doa yang kami panjatkan setiap hari. Semoga AlQuran menjadi salah satu jalan kami menujuMu, Rabb. Menuju pertemuan terindah denganMu. Kelak, di tempat kembali terbaik. Seperti nama yang telah Ibu dan Ayah sematkan padaku dengan penuh doa harap. Firdaus.
Selasa, 7 Februari 2017
Andika Putri Firdausy
*credit to Geng Kamis, semoga istiqomah gaes, lovyu! :3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar