Suatu ketika...
===
“Amal yang paling ihsan,” demikian menurut Fudhail ibn
‘Iyadh, “adalah yang paling ikhlas
niatnya dan paling benar mengikuti
tuntunannya.”
Mari sejenak mentakjubi para pendahulu kita yang shalih,
yang sebakda memenuhi ikhlas dan benarnya amal mereka, masih juga memberi kita
pelajaran tentang bagaimana memanfaatkan sebesar-besarnya detak-detik hidup
yang penuh makna. Terlebih hari ini, di kala amat mudah kita berbangga dengan
perbuatan kecil yang dengan lancang kita sebut “karya”.
Apa yang hendak kita sombongkan, jika Imam An-Nawawi
menulis Syarh Shahih Muslimyang
setebal itu sedang beliau tak punya sejilid pun kitab Shahih Muslim? Hanyasanya beliau menulisnya berdasar hafalan atas Shahih Muslimyang diperoleh dari
Gurunya, lengkap dengan sanad inti dan sanad tambahannya.
Sanad inti adalah perawi yang menyampaikan hadits antara
Imam Muslim sampai Rasulullah. Adapun sanad tambahan yakni mata-rantai
periwayatan dari An-Nawawi hingga Imam Muslim. Jadi kita dapat membayangkan;
ketika menulis penjabarannya, An-Nawawi menghafal 5.326 hadits sekaligus
sanadnya dari beliau ke Imam Muslim dengan sekira 9-13 tingkat gurunya;
ditambah hafal sanad inti sekitar 4-7 mata rantai rawi. Yang menakjubkan lagi;
penjabaran yang beliau anggit disertai perbandingan dengan hadits dari kitab
lain, yang jelas dari hafalan sebab beliau tak mendapati naskahnya, penjelasan
kata maupun maksud dengan atsar shahabat, tabi’in, dan ulama; munasabatnya
dengan ayat dan tafsir, istinbath hukum
fiqh yang diturunkan darinya; dan banyak hal lain lagi.
Hari
ini kita menepuk dada; dengan karya yang hanya pantas jadi ganjal meja beliau, dengan kesulitan
telaah yang tak ada seujung kukunya. Hari
ini kita jemawa; dengan alat menulis yang megah, dengan rujukan yang
daring, dan tak malu-sedikit-sedikit bertanya pada pada mesin pencari.
Kita baru menyebut satu karya dari seorang ‘Alim saja sudah bagai langit dan bumi
rasanya. Bagaimana dengan kesemua karya dari satu orang ini yang jangan-jangan
hingga umur kita tuntaspun takkan habis dibaca? Bagaimana pula para ulama lain
yang kedahsyatan warisannya dan upayanya menyusun karya bahkan lebih dahsyat
dari Imam An-Nawawi?
Bagaimana kita mengerti kepayahan seorang penyusun kitab Musnad, Sunan, Thabaqah, atau Jami’ush Shahih pada zaman yang untuk
memndapat satu hadits saja para muallifnya harus berjalan berbulan-bulan?
Bagaimana kita mencerna, bahwa dari nyaris satu juta hadits yang dikumpulkan
dan dihafal seumur hidupnya; Al-Bukhari memilih sekira 7.008 saja? Atas ratusan
ribu hadits yang digugurkan Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi
misalnya; tidakkah kita renungi, bahwa hampir pasti semua ucap dan tulisan kita
jauh lebih layak dibuang?
Detak-detik
hidup macam apakah yang lapis-lapis berkahnya sepadat itu?
Detak-detik
macam apakah yang lapis berkahnya setebal itu?
Kita baru melihat satu sisi saja bagaimana mereka
berkarya; belum terhayati bahwa mereka juga bermandi darah dan berhias luka di
medan jihad. Bgaiamana Ibn Al-Mubarak membagi tahun-tahunnya menjadi tiga;
sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk jihad; dan sepertiga untuk berniaga. Bagaimanakah
Ibn Taimiyah melalu hidupnya antara garis depan perang melawan Tartar,
mengajar, dan tinggal di penjara Sultan. Begitulah, acap kali mereka juga harus
berhadapan dengan penguasa zhalim dan siksaa pedihnya, sejawat yang dengki dan
gangguan kejinya, serta para awam yang takpaham dan kadang lebih kejam.
Kita mengeluh
atas listrikyang mati atau data terhapus; Imam Asy-Syafi’i tersenyum kala difitnah dan dibelenggu, dan dipaksan berjalan
terantai dari Shan’a menuju Baghdad. Kita menyedihkan komputer jinjing yang
tetiba mengadat dan batas waktu penulisan yang gawat; sedang punggung Imam
Ahmad berbulir dipukuli pagi dan petang hanya karena satu kalimat. Kita berduka
atas gagal terbitnya suatu karya; padahal Imam Al-Mawardi berjuang
menyembunyikan tulisan-tulisannya hingga menjelang ajal, agar dirinya terhindar
dari puja.
Detak-detik
hidup macam apakah yang lapis-lapis berkahnya sedahsyat itu?
Mari kembali pada Imam An-Nawawi yang wafat di usia 45,
dan tak usah bicara tentang Al-Majmu’
Syarh Al-Muhadzdzab-nya yang dahsyat dan Riyaduhush Shalihin-nya yang jelita. Mari perhatikan saja karya
tipisnya; Al-Arba’in An-Nawawiyah.
Betapa dalam 42 hadits yang dipilih dengan cermat itu ada lapis-lapis
keberkahan yang melampaui segala hitungan. Ia disyarah beratus kali, dihafal
berlaksa akal hati, dikaji berjuta manusia, dan tetap menakjubkan susunannya.
Maka tiap kali kita bangga degan “best seller”, “nomor satu”, “juara”, d”dahsyat”, dan “terhebat”; liriklah kitab kecil itu.
Lirik saja. Agar kita tahu; bahwa kita belum apa-apa, belum kemana-mana, dan
bukan siapa-siapa. Lalu tak henti belajar, berkarya, dan bersahaja.
===
Saya berhenti seketika membaca bagian itu dibuku Lapis-Lapis Keberkahannya Ustad Salim. Saya malu, malu sekali. Malu pada
ulama’-ulama’ tersebut, malu pada Rasulullah, sungguh malu pada Allah, dan teramat
sangat malu kepada diri saya sendiri. Di bilang umur yang sudah Allah sampaikan
di titik ini, juga dalam segala nikmat yang telah Allah karuniakan pada
kehidupan ini, sungguh saya belum merasa berbuat apa-apa. Jangankan berkarya
seperti para ulama’ tersebut, bahkan membaca karya-karya beliau saja belum
tuntas bahkan terkadang belum menjadi prioritas. Apalah artinya ilmu yang tidak
ada seujung kuku ini, ya Allah..
Saya jadi ingat pertama membaca halaman awal buku ini,
begitu malasnya. Sekian lama teronggok di deretan rak buku. Membaca sebentar,
tutup. Membaca sedikit, ngantuk. Ah. Lihat tebalnya buku saja sudah malas. Tetapi
masyaAllah, setelah dibaca isinya luar biasa :” Ya Allah, izinkan aku mentadabburi
ilmuMu dari karya para ulama’. Dan kelak, izinkan aku dapat membagikan sedikit,
seujung kuku ilmu yang Kau titipkan padaku ini. Aamiin.
Yogyakarta, 22 Agustus
2016
20 Dzul Qo’dah 1437
20 Dzul Qo’dah 1437
Sang Fakir Ilmu,
Andika Putri Firdausy
Andika Putri Firdausy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar