Kamis, 13 November 2014

Memilih Takdir

Memilih Takdir

oleh: Andika Putri Firdausy


Kyoto, 15 December 2013
The one who decided your future is you | So keep moving forward and never look back | Don't listen what people are saying | They never care what you are doing about | They just wanna see the best of you 
Terkadang kita terlalu naif menjalani kehidupan. Mampu berlari tapi hanya berjalan. Mampu berjalan tapi hanya merangkak. Mampu merangkak tapi hanya merayap. Mampu merayap tapi hanya duduk terdiam. Terbaring di dalam kursi pesakitan yang kita buat-buat sendiri. Meratapi takdir yang seakan tak pernah berpihak pada kita.

Pertanyaannya adalah, benarkah semua itu? Atau, jangan-jangan semua itu hanya prasangka kita. Hanya ilusi akan ketakutan-ketakutan kita menjalani hidup. Padahal, bukankah setiap sekecil apapun hal di dunia ini telah diatur oleh Sang Waktu?

Pantai Krakal, Gunungkidul, 19 April 2014
Make your own destiny | We never too old to learn

Suatu sore, sekelompok pemuda sedang berkumpul. Membicarakan yang katanya kehidupan. Membincangkan yang katanya punya selaksa peran dalam membesarkan bangsa ini. Hei, janganlah muluk-muluk membicarakan permasalahan bangsa, karena terkadang masalah sepele kita sehari-hari saja masih enggan menyelesaikannya. Seakan tak mau berkutat dengan hal kecil dan menganggapnya seakan tiada. Akan tetapi, bukankah semua hal besar itu pada dasarnya berawal dari hal kecil?

Seringnya kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Pilih ikut organisasi A atau B. Pilih ikut kegiatan P atau Q. Mau beli barang X atau Y, dan masih banyak lagi. Life is a choice, right? Tetapi untuk 'sekedar' memilih terkadang tidak semudah itu. Yang perlu kita tahu adalah apa yang mendasari setiap pilihan yang kita ambil. Kembali, karena pada dasarnya hidup ini adalah pilihan, maka kita boleh memilih pilihan yang mana saja, asalkan kita bersedia menanggung risikonya.

Ada orang yang mendasarkan pilihannya atas asas kepedulian. Ada juga yang mendasarkannya atas dasar kebutuhan. Boleh saja, tetapi, ingat, semua hal yang kita pilih dan lakukan akan dimintai pertanggungjawaban. Jadi apapun itu, siapkan 'argumen' yang benar-benar kuat mengapa kita memilih pilihan tersebut. 

Dalam menggunakan hak pilih kita terhadap berbagai pilihan, sebaiknya kita mempertimbangkan beberapa hal. Kalau saya, tipe orang yang sering 'menduakan' dirinya sendiri. Maksudnya, terkadang saya begitu susah berkata "tidak", padahal, bisa jadi saya belum tentu sanggup. Jadi, pada akhirnya saya melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan orang lain terlebih dahulu, baru kemudian kepentingan pribadi saya seorang. Ini tidak buruk, tapi juga tidak terlalu baik. Kenapa? Karena yang benar-benar tahu kondisi dan kemampuan kita adalah diri kita sendiri, bukan orang lain. Ya otomatis lah ya nanti yang akan mengerti apakah kita sanggup menyelesaikan suatu tugas atau tidak itu diri kita sendiri. Jadi akan lebih baik kita 'hanya' menerima apa yang kita sanggupi daripada kita tidak bisa menyelesaikan sebagian darinya. Well, ini juga pelajaran buat saya agar selalu cek and ricek lagi sebelum mengiyakan sesuatu. Berkata "tidak" itu tidak buruk, kok. Sometimes we need it, trust me. :)

Pernah, waktu semacam deep intro gitu, salah seorang teman mengomentari saya, "Kamu itu baik sih, apa-apa yang nggak beres mau diberesin. Tapi ya gitu, jadinya malah pada nggak beres gara-gara kamu keteteran". Well, ngejleb juga pas mendengar kata-kata itu. Tapi setelah melewati perenungan *halah*, saya menyadari kebenaran dari perkataan tersebut. Terkadang, kita terlalu memikirkan pekerjaan orang lain hingga tidak sadar bahwa pekerjaan kita sendiri belum sepenuhnya selesai. Ini bukan tentang mengorbankan orang lain untuk diri sendiri atau mengorbankan diri sendiri untuk orang lain. Kita sedang berada diantara keduanya, dan kita harus berusaha menyeimbangkan keduanya. Mengapa? Karena kita diciptakan sebagai dua hal: makhluk individu dan makhluk sosial. Terlihat berat sih, tapi, bukankah... "Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan?" :)

Sebagai manusia, kita diberikan begitu banyak kesempatan ladang amal oleh Allah melalui amanah-amanah yang diberukan kepada kita. Setelah memahami bahwa kita memiliki kesempatan untuk menerima dan menolak, salah satu hal yang perlu mendasari pilihan kita adalah kebutuhan. Emm, ini: terkadang bukan kita yang memilih takdir, tetapi takdir yang memilih kita. *sigh* Agak dalem sih yak, tapi nggak papa, we learn everything's here. Kita boleh memilih yang mana saja, tetapi kita juga sebaiknya memikirkan dampak dari pilihan kita. Apakah, jika kita tidak memilih x akan baik? Atau justru sebaliknya? 

Saya tidak bilang kita harus memikirkan orang lain, tapi setidaknya kita memikirkan dampak yang kita buat karena hal yang kita lakukan. Itu saja. ~

Takdir, garis tangan memang sudah ditentukan. Akan tetapi, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika mereka sendiri tak mau mengubah nasibnya, kan? Yaps, dan begitu juga dengan yang terjadi pada diri kita. Takdir kita memang sudah tertulis di lauhul mahfidz : kelahiran, rezeki, jodoh, dan kematian. Akan tetapi, kita bisa 'mengubahnya' dengan usaha kita di dunia. Berikhtiar dulu semaksimal mungkin, baru bertawakkal. Selalu khusnudzonlah kepada Allah, karena Ia adalah prasangka hambaNya

How about having no choices?
Well, berarti kita justru sudah tahu apa yang harus kita lakukan, doongs.
Do what you love and love what you do. :)

Mount Aso, Kumamoto, 14 December 2013
Keep dreaming and live your dream Everyone has their own dream and way to reach it | Just be fair with our own self and dream

Last but not least, saya mau meminta maaf kepada Anda sekalian apabila ada amanah yang diberikan kepada saya yang belum sempurna saya lakukan. Semoga Allah senantiasa menguatkan kita. Barakallahufiikum.


Yogyakarta, 13 November 2014


Andika Putri Firdausy

2 komentar:

Berkumpul di Jannah