hari ini hujan tak berhenti walau sejenak . di tengah hujan deras
seperti ini, mereka yang tentu saja belum dan tidak seharusnya, mencari
keping demi keping uang logam, menggantungkan hidup di bawah lampu merah
. ya rabbi, aku sangat bersyukur, setidaknya aku tidak perlu bekerja
keras seperti mereka yang berjuang melawan hawa dingin di tengah hujan
hanya untuk sesuap nasi .
bahkan mungkin, mereka mengesampingkan
pendidikan hanya untuk bekerja, mencari sebanyak-banyaknya kepingan uang
logam. sedang aku, yang telah diberi kesempatan seperti ini, terkadang
masih tak bisa memanfaatkannya dengan baik. ya Allah . .
terima kasih
ya Allah telah memberiku keluarga yang lengkap dan bahagia (amin ya
rabb), terima kasih untuk kesempatan yang Engkau berikan kepada ku,
kepada kami, untuk menyaksikan kebesaranMu, rabbku, terima kasih untuk
memberiku teman-teman yang begitu baik, terima kasih atas segalanya ya
Allah . .
terima kasih ibu, ayah, terima kasih untuk segalanya yang tak mungkin bisa untukku membalas ♥
ahh, terima kasih untuk semua orang di dunia ini yang telah memberi warna di hidupku,
TERIMA KASIH !! ♥
Adopted from my facebook's note January, 23rd 2011
Seperti air yang membawa kesegaran, seperti angin yang membawa kesejukan, dan seperti api yang membawa kehangatan.
Jumat, 24 November 2017
Sindrom Rajab (dan Syawal) ~
Fyi, ini sebenarnya tulisan yang saya tulis hampir setahun yang lalu, last save-nya 13-07-14. But yeah, saya punya kebiasaan buruk meninggalkan tulisan 'tercecer' dimana. Daripada nunggu setahun, lebih baik saya teruskan sekarang. :D *editeditdikit
Nyamnyamm~ ada apa dengan bulan Rajab? ^o^
Dan saking lamanya saya menunda pos ini, sampai sudah mau memasuki bulan Rajab (lagi dan lagi). Subhanallah, betapa cepatnya waktu berlalu. ~
A Self-talk
Tengoklah ke belakang,
Agar kau bisa belajar dari masa lalu dan tak terjebak dalam kesalahan yang sama.
Tataplah ke depan,
Agar kau tak enggan memupuk harapan demi masa depan peradaban.
Tengoklah ke bawah,
Agar kau mampu untuk terus mensyukuri kehidupan dan tak melupakan yang butuh pertolongan.
Tataplah ke atas,
Agar kau tak enggan untuk terus bersemangat menggapai asa yang kau cita.
Juga,
Tengoklah ke kanan dan ke kiri jika mau menyeberang #eh 😌
Hidup, bisa jadi seperti roda, yang terkadang di atas, dan terkadang pula di bawah.
Hidup juga, bisa jadi seperti roller coaster, yang sesaat saja di atas kemudian terjum bebas ke bawah, dan sebaliknya.
Hidup kita, tak kan pernah tahu akhirnya, bukan?
Yang terpenting adalah, kesabaran dan kesyukuran: bersyukur ketika berhujan nikmat, bersabar ketika ditinggalkan kenikmatan.
Selamat menikmati tarik-ulur kehidupan, kawan. Lakukanlah yang terbaik. Dan yakinlah bahwa Sang Sutradara tidak akan pernah salah memberikan peran.
Live your life wisely and happily. 🌹
Selamat malam Sabtu, kamu~
Yogyakarta, 27 Oktober 2017
Wanita Itu
Entah bagaimana caranya, wanita itu tiba-tiba sudah terduduk di sebuah ruang yang tidak asing baginya. Di tempat yang sama, banyak manusia lainnya sedang bersenda gurau dan saling bertegur sapa. Tapi tidak dengan wanita itu. Entah mengapa, di tengah keramaian ia merasa kesepian. Ia berusaha keluar dari ruangan yang menyesakkan itu untuk menyegarkan pikirannya. Tapi percuma saja, di ruang lain ia juga masih merasakan keadaan yang sama.
Entah apa yang teradi, tetapi ia merasa tidak tenteram. Tidak lama setelah ia mencoba mencari alasannya, tiba-tiba ia bertemu seseorang. Sesosok yang selama ini selalu coba ia hindari, tapi nyatanya harus bertemu lagi saat ini. Seseorang yang dulu sangat dekat dengannya, namun dalam keadaan yang cepat menjadi seseorang yang tidak pernah ingin ia temui lagi. Ia merasa mengenal baik laki-laki itu, tapi ia sedang tidak ingin bertemu dengannya saat ini, atau kapanpun jua.
Entah bagaimana ceritanya, sepertinya luka lama itu tidak ingin ia biarkan terbuka kembali. Tapi malam itu, berbeda. Entah takdir apa selanjutnya, tapi Tuhan mempertemukan mereka lagi untuk kesekian kalinya. Aku melihat wanita itu kebingungan dimana ia harus bersembunyi sedangkan kedua pasang bola mata mereka sudah terlanjur bertatap. Tatapan yang dingin. Akan tetapi di sisi lain wanita itu tetap tidak bisa membohongi dirinya bahwa ada bagian hatinya yang merindukan tatapan itu.
Mungkinkah ia kembali padaku? Hati wanita itu berbisik, dan di saat yang sama ia mengingat kembali perasaan luka yang belum sembuh total. Ia kemudian berusaha pergi menjauh, tetapi laki-laki itu mengikutinya. Ia mencoba mencari tempat yang sepi untuk menyendiri, tapi ternyata laki-laki itu tidak pantang menyerah, ia mengejarnya dan mereka bertemu dalam sebuah ruang. Berdua. Hanya ada mereka berdua.
Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak dapat mendengar dengan pasti. Aku hanya bisa merasakan luka yang amat sangat pada diri wanita itu. Ia berusaha menahan air mata semenjak tatapan tadi, tapi matanya sudah terlalu berat untuk menanggung semuanya sendiri. Mungkin tidak sendiri, karena sebenarnya jauh di lubuk hati laki-laki itu juga merasa bersalah.
Tanpa banyak kata, wanita itu akhirnya sesunggukan, sambil duduk tertelungkup. Parasnya yang cantik sungguh tak berubah meksi ia tampak memendam kesedihan yang dalam. Laki-laki itu hanya terdiam terpaku. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Serba salah untuk bergerak maju karena ia tidak memiliki hak apapun, tapi juga tak berani mundur karena ia merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
“Pergilah,” akhirnya wanita itu menguatkan diri untuk mengucapkan sesuatu.
“Pergilah sejauh mungkin... dan jangan kembali lagi..” ada jeda yang mengambang di kalimat itu. Seakan tak mau diucapkan, tapi harus juga diucapkannya.
“Pergilah. Aku sudah memaafkanmu. Berbahagialah. Dan jangan pernah kembali lagi.” Wanita itu berpesan lagi.
Gemuruh dadanya tidak bisa ditahan ketika mengatakan kalimat itu. Ia mencoba menahan sekuat tenaga untuk mengatakannya dengan tegar, walau masih terasa ada getir yang mengiringi kalimat penutup itu.
“Aku sudah ikhlas, kamu tidak perlu mengingatku lagi..” Ia kembali meyakinkan laki-laki yang tampak raguitu untuk pergi.
Di ujung sana, ada seorang yang sedang menunggu keputusan laki-laki itu, apakah ia akan tetap tinggal, atau menyerah dan meninggalkan wanita itu.
Setelah saling berdiam cukup lama, akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk pergi. Ia tahu keadaan ini sudah terlanjur rumit, dan akan bertambah rumit jika ia terus tinggal di tempat ini.
“Maafkan aku..”, hanya itu yang ia katakan sembari memundurkann langkah dan memulai pergi. Kali ini ia pergi. Sebenar-benar pergi. Laki-laki itu tidak akan kembali. Wanita itu sendiri yang memintanya untuk tidak kembali.
Wanita itu akhirnya menangis lagi. Entah apa yang dirasakannya saat ini. Mungkin, bekas lukanya tak akan hilang, tapi setidaknya ia telah berusaha menyembuhkan dengan mengikhlaskannya. Ia sadar harus ada yang ia lakukan untuk menyembuhkan lukanya, cause there is nobody will do it to her. Meskipun ia akan semakin terluka, tapi setidaknya merelakan akan membuat dia lebih tenang. Ia masih berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, kan?
.
Mimpi yang aneh.
Entah mengapa gemuruh dadaku seakan lebih kencang dari wanita itu aku sendiri tidak tahu siapa dia, apalagi laki-laki itu. Tapi entah mengapa, rasanya kami dekat sekali. Bahkan aku merasakan sebagaimana luka yang dirasakan wanita itu. Mungkinkah ia sosok terdekatku? Atau jangan-jangan ia adalah diriku sendiri?
Entah apa yang teradi, tetapi ia merasa tidak tenteram. Tidak lama setelah ia mencoba mencari alasannya, tiba-tiba ia bertemu seseorang. Sesosok yang selama ini selalu coba ia hindari, tapi nyatanya harus bertemu lagi saat ini. Seseorang yang dulu sangat dekat dengannya, namun dalam keadaan yang cepat menjadi seseorang yang tidak pernah ingin ia temui lagi. Ia merasa mengenal baik laki-laki itu, tapi ia sedang tidak ingin bertemu dengannya saat ini, atau kapanpun jua.
Entah bagaimana ceritanya, sepertinya luka lama itu tidak ingin ia biarkan terbuka kembali. Tapi malam itu, berbeda. Entah takdir apa selanjutnya, tapi Tuhan mempertemukan mereka lagi untuk kesekian kalinya. Aku melihat wanita itu kebingungan dimana ia harus bersembunyi sedangkan kedua pasang bola mata mereka sudah terlanjur bertatap. Tatapan yang dingin. Akan tetapi di sisi lain wanita itu tetap tidak bisa membohongi dirinya bahwa ada bagian hatinya yang merindukan tatapan itu.
Mungkinkah ia kembali padaku? Hati wanita itu berbisik, dan di saat yang sama ia mengingat kembali perasaan luka yang belum sembuh total. Ia kemudian berusaha pergi menjauh, tetapi laki-laki itu mengikutinya. Ia mencoba mencari tempat yang sepi untuk menyendiri, tapi ternyata laki-laki itu tidak pantang menyerah, ia mengejarnya dan mereka bertemu dalam sebuah ruang. Berdua. Hanya ada mereka berdua.
Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak dapat mendengar dengan pasti. Aku hanya bisa merasakan luka yang amat sangat pada diri wanita itu. Ia berusaha menahan air mata semenjak tatapan tadi, tapi matanya sudah terlalu berat untuk menanggung semuanya sendiri. Mungkin tidak sendiri, karena sebenarnya jauh di lubuk hati laki-laki itu juga merasa bersalah.
Tanpa banyak kata, wanita itu akhirnya sesunggukan, sambil duduk tertelungkup. Parasnya yang cantik sungguh tak berubah meksi ia tampak memendam kesedihan yang dalam. Laki-laki itu hanya terdiam terpaku. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Serba salah untuk bergerak maju karena ia tidak memiliki hak apapun, tapi juga tak berani mundur karena ia merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
“Pergilah,” akhirnya wanita itu menguatkan diri untuk mengucapkan sesuatu.
“Pergilah sejauh mungkin... dan jangan kembali lagi..” ada jeda yang mengambang di kalimat itu. Seakan tak mau diucapkan, tapi harus juga diucapkannya.
“Pergilah. Aku sudah memaafkanmu. Berbahagialah. Dan jangan pernah kembali lagi.” Wanita itu berpesan lagi.
Gemuruh dadanya tidak bisa ditahan ketika mengatakan kalimat itu. Ia mencoba menahan sekuat tenaga untuk mengatakannya dengan tegar, walau masih terasa ada getir yang mengiringi kalimat penutup itu.
“Aku sudah ikhlas, kamu tidak perlu mengingatku lagi..” Ia kembali meyakinkan laki-laki yang tampak raguitu untuk pergi.
Di ujung sana, ada seorang yang sedang menunggu keputusan laki-laki itu, apakah ia akan tetap tinggal, atau menyerah dan meninggalkan wanita itu.
Setelah saling berdiam cukup lama, akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk pergi. Ia tahu keadaan ini sudah terlanjur rumit, dan akan bertambah rumit jika ia terus tinggal di tempat ini.
“Maafkan aku..”, hanya itu yang ia katakan sembari memundurkann langkah dan memulai pergi. Kali ini ia pergi. Sebenar-benar pergi. Laki-laki itu tidak akan kembali. Wanita itu sendiri yang memintanya untuk tidak kembali.
Wanita itu akhirnya menangis lagi. Entah apa yang dirasakannya saat ini. Mungkin, bekas lukanya tak akan hilang, tapi setidaknya ia telah berusaha menyembuhkan dengan mengikhlaskannya. Ia sadar harus ada yang ia lakukan untuk menyembuhkan lukanya, cause there is nobody will do it to her. Meskipun ia akan semakin terluka, tapi setidaknya merelakan akan membuat dia lebih tenang. Ia masih berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, kan?
.
Mimpi yang aneh.
Entah mengapa gemuruh dadaku seakan lebih kencang dari wanita itu aku sendiri tidak tahu siapa dia, apalagi laki-laki itu. Tapi entah mengapa, rasanya kami dekat sekali. Bahkan aku merasakan sebagaimana luka yang dirasakan wanita itu. Mungkinkah ia sosok terdekatku? Atau jangan-jangan ia adalah diriku sendiri?
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Tulisan berikut sedikit melompat dari tulisan yang sebelumnya. Saya akan membahas bagaimana kami bisa survive untuk sholat di Jepang dengan ...
-
Angin segar bertiup riang Menembus embun pagi yang malu-malu Daun-daun yang berguguran Ditemani percikan air hujan yang lembut Indah ...
-
Aku ingin bercerita tentang kita. Iya, kamu, dan aku tentu saja. Aku ingin orang lain tahu, bahwa aku dan kamu telah menjadi kita. Ba...