Jendela Dunia - dari Ruang Belajar Sempadan, Agustus 2015 |
Sore ini, hujan gerimis
mengguyur kota pelajar untuk pertama kalinya setelah lama kering kerontang.
Beberapa hari terakhir mendung memang selalu mengiringi, namun bulir air langit
belum juga turun. Hanya gerah semalaman yang terasa karena awan masih terus
menggantung di atas langit, tetapi belum juga genap terkondensasi. Aku sedang
dalam perjalanan pulang dari kampus menuju rumah.
Sore hari begini, akan terasa lebih nikmat dengan menyeduh teh panas ditemani sekaleng
biskuit dan sebuah buku di rumah. Bayang-bayang teh manis panas segera
menyeruak memenuhi kepalaku, kerongkongan yang kering kemudian mengaminkan
otakku.
Aku ingin segera sampai
di rumah. Lampu merah ini sungguh menghambat perjalanan. Sebenarnya tidak,
mungkin kendaraan di depanku saja yang begitu. Berjalan teramat pelan dan
menutupi jalan, sedangkan di depannya tidak ada satupun kendaraan yang
merintanginya. Ah, yasudahlah, mungkin ia sedang ingin bermesra dengan rintik
hujan sore ini.
Kupacu motorku sedikit
lebih kencang, enggan jika tubuhku basah kuyup. Terlalu banyak benda yang tidak
boleh terkena air di dalam tasku. Dan aku sendiri enggan kedinginan, lalu masuk
angin yang justru akan menggagalkan semua agenda yang telah disusun. Aku memainkan
gas motor dengan sangat lincah. Sedikit kencang, lalu kemudian pelan. Meliuk ke
kanan, kencang sedikit, lalu kembali perlahan. Begitu seterusnya. Aku menikmati
perjalananku sore ini, dengan rintik hujan dan angin sepoi yang menemani.
Di lampu merah kesekian
aku berhenti. Pas sekali, setiap aku hampir sampai di persimpangan, rona hijau
di deretan traffic light itu segera
berubah menjad merah. Sepertinya Allah ingin menguji kesabaranku, atau mungkin hujan
sedang rindu denganku. Aku segera berhenti dan merapikan barisan motorku. Tak
lama segera kumatikan mesin motorku karena durasi menuju lampu hijau masih
cukup lama. Sambil mengamati sekeliling, sayup-sayup terkedang suara dari
pengeras masjid/mushola terdekat. Suara anak-anak kecil yang sedang memanggil
temannya untuk mengaji di surau – TPA. “Assalamu’alaykum
warohmatullahi wabarokatuh. Teman-teman yang mau mengaji sudah ditunggu oleh
teman-temannya..Yu..da Fa..jar, I..na, Me..ga,.... “. Dan tiba-tiba pikiranku
melayang ke suatu sore di ujung sana...
~~~
Di Kota Pelajar ini,
mereka – anak-anak TPA—selalu perlu
untuk memanggil terlebih dahulu teman-teman mereka yang mau mengaji di surau
melalui pengeras suara surau. Entah karena semangat mereka yang menggebu, atau
karena belum ada yang datang. Aku juga tidak tahu pasti. Hanya saja, ini cukup
berbeda dengan keadaan di luar sana.
Terkadang aku merasa
semua ini cukup membingungkan; kalau aku
tak boleh menyebutnya tidak adil. Betapa tidak? Bahkan di pelosok sana,
sebagaimanapun cuaca, mereka bahkan selalu datang tepat waktu, bahkan lebih
awal dibandingkan kami. Mereka rela menunggu berjam-jam, yang bahkan kami baru datang
ketika waktu sudah hampir habis. Mereka rela menunggu, berlama-lama, ‘hanya’
untuk sedikit ilmu yang akan mereka
dapatkan. Entah itupun apa. Rasanya, hati ini seperti teriris. Di Jogja, banyak
sekali majelis ilmu dan TPA untuk anak-anak. Banyak sekali asatidz yang ‘rela’ menunggu anak-anak untuk mengaji, tetapi tidak
sedikit yang enggan. Sedangkan jauh di luar sana, sadarkah, bahwa banyak anak-anak
yang mau dan sangat ingin, bahkan sangat membutuhkan, tetapi tidak ada yang
bisa mereka dapatkan? Fasilitas sangat terbatas disana, bahkan seorang gurupun
sangat berharga.
Di satu dusunku, terdapat puluhan anak keil,
tetapi hanya ada satu surau aktif yang digunakan untuk belajar mengaji. Akan tetapi
keadaan di dusun ini cukup baik karena ada Pak Haji yang bersedia mengajarkan
mengaji kepada anak-anak. Hampir setiap hari mereka mengaji, tidak terbatas
hanya di bulan Ramadhan saja. Saat kami berada di sana, mengaji mereka berubah
menjadi dengan kami, bukan dengan Pak Haji disana. Mereka adalah anak-anak yang
semangat dan ceria. Mereka selalu menebarkan kebahagiaan di muka-muka lelah
kami setelah seharian mengerjakan program yang lain. Mereka juga biak-biak yang
setia. Setia menunggu kami yang entah
kapan datangnya. Kadang kami lupa, atau bahkan kadang kami sengaja pergi karena kelelahan. Tetapi mereka
senantiasa sabar menunggu kami demi sesuap
ilmu dan berkah yang mereka harapkan.
Ah, kalian dek. Senyum yang
begitu tulus. Mata yang begitu berbinar. Maafkan kakak iie belum bisa menjadi kakak yang baik. Kakak sayang dan rindu
kalian, dek... :’)
[7 November 2015 - To be continue...]