Bagaimana ternyata ukhuwah dalam islam itu sangat menawan. Tidak pernah ada kebohongan, apalagi pengkhianatan. Tidak pernah ada namanya saling menyakiti. Semua dilakukan karenaNya, hanya karenaNya.
Dalam Dekapan Ukhuwah, page 410:
ASAS UTAMA dalam hidup berjama’ah yang sekokoh janji adalah kepercayaan.
‘Umar ibn Al-Khattab sedang duduk di bawah sebatang
kurma. Surbannya dilepas, menampakkan kepala yang rambutnya mulai teripis di
beberapa bagian. Di atas kerikil dia duduk, dengan cemeti imarat-nya tergeletak di samping tumpuan lengan. Di hadapannya para
pemuka shahabat bertukar pikiran dan membahas berbagai persoalan. Ada anak muda
yang tampak menonjol disitu. ‘Abdullah ibn Abbas. Berungkali ‘Umar memintanya
bicara. Jika perbedaan wujud, ‘Umar hampir selalu bersetuju dengan Ibnu ‘Abbas.
Ada juga Salman Al-Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al-Ghifari
yang sesekali bicara berapi-api.
Pembicaraan mereka segera terjeda. Dua orang pemuda
berwajah mirip datang dengan mengapit pria belia lain yang mereka cekal
lengannya. “Wahai Amirul Mukminin,” ujar salah satu berseru-seru, “Tegakkanlah
hukum Allah atas pembunuh ayah kami ini!”
‘Umar bangkit. “Takutlah kalian kepada Allah!” hardiknya, “Perkara apakah ini?”
Kedua pemuda itu menegaskan bahwa pria belia yang
mereka bawa ini adalah pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan
bahkan menyatakan bahwa pelaku ini telah mengaku. ‘Umar bertanya kepada sang
tertuduh. “Benarkah uang mereka dakwakan kepadamu ini?”
“Benar, wahai Amirul Mukminin!”
“Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kulihat ada
sesal!”, ujar ‘Umar menyelidik dengan teliti. “Ceritakanlah kejadiannya!”
“Aku datang dari negeri yang jauh,” kata belia itu.
“Begitu sampai di kota ini kutambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik
keluarga mereka. Kutinggalkan ia sejenak untuk menunaikan suatu hajat tanpa aku
tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.”
“Saat aku kembali,” lanjutnya sembari menghela
nafas, “Kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah dari
kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang
itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan kuhunus
pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada
Allah karenanya.”
‘Umar tercenung.
“Wahai Amirul Mukminin,” kata salah satu dari kedua
kakak beradik itu, “Tegakkanlah hukum Allah. Kami meminta qishash atas orang ini. Jiwa dibayar dengan jiwa.”
‘Umar melihat pada belia tertuduh itu. Usianya masih
sangat muda. Pantas saja dia mudah dibakar hawa amarah. Tapi sangat jelas bahwa
wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Gurat-gurat sesal tampak jelas membayang di
air mukanya. ‘Umar iba dan merasa alangkah sia-sianya jika anak muda penuh adab
dan berhati lembut seperti ini harus mati begitu pagi. “Bersediakah kalian,” ucap
‘Umar ke arah dua pemuda penuntut qishash,
‘Menerima pembayaran diyat dariku
atas nama pemuda ini dan memaafkannya?”
Kedua pemuda itu saling pandang. “Demi Allah, hai
Amirul Mukminin,” jawab mereka, “Sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia
telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaannya di tengah kami takkan
terbayar dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskin yang
menghajatkan harta. Jati kami baru akan tenteram jika had ditegakkan!”
‘Umar terhenyak. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya
pada sang terdakwa.
“Aku ridha hukum Allah ditegakkan atasku, wahai
Amirul Mukminin,” kata si belia dengan yakin. “Namun ada yang menghalangiku
untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara
yang harus aku sampaikan kembali pada mereka. Demikian juga keluargaku. Aku
bekerja untuk menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini
harus aku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan
ayah ibuku.”
‘Umar trenyuh. Tak ada jalan lain, hudud harus
ditegakkan. Tetapi pemuda itu juga memilik amanah yang harus ditunaikan. “Jadi
bagaimana?” tanya ‘Umar.
“Jika engkau mengizinkanku, wahai Amirul Mukminin,
aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala
amanah itu. Demi Allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi
hukumanku. Saat itu tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai putra
Al-Khaththab.”
“Adakah orang yang bisa menjamninmu?”
“Aku tak memiliki seorang pun yang kukenal di kota
ini hingga dia bisa kuminta menjadi penjaminku. Aku yak memiliki seorang pun
penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
“Tidak! Demi Allah, tetap harus ada seseorang yang
menjaminmu atau aku tak bisa mengizinkanmu pergi.”
“Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras
‘adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku.”
“Aku percaya. Tapi tetap harus asa manusia yang
menjaminmu!”
“Aku tak punya!”
“Wahai Amirul Mukminin!” terdengar sebuah suara yang
berat dan berwibawa menyela. “Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan
biarkanlah dia menunaikan amanahnya!” Inilah dia, Salman Al-Farisi yang tampil
mengajukan diri.
“Engkau hai Salman, bersedia menjamin anak muda
ini?”
“Benar. Aku bersedia!”
“Kalian berdua kakak beradik yang mengajukan
gugatan,” panggil ‘Umar, “Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari
Salman Al-Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian ini? Adapun Salman
demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur
dan tak sudi berkhianat.”
Kedua pemuda itu saling
pandang. “Kami menerima,” kata mereka nyaris serentak
Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terhukum
nyaris habis. ‘Umar gelisah tak karuan. Dia mondar-mandir sementara Salam duduk
khusyu’ di dekatnya. Salman tampak begitu tenang padahal jiwanya di ujung
tanduk. Andai lelaki pembunuh itu tak datang memenuhi janji, maka dirinyalah
yang akan menggantikan tempat sang terpidana untuk menerima qishash.
Waktu terus merambat. Belia itu masih belum muncul.
Kota madinah mulai terasa kelabu. Para shahabat
berkumpul mendatangi ‘Umar dan Salman. Demi Allah, mereka keberatan jika Salman
harus dibunuh dengan badal. Mereka
sungguh tak ingin kehilangan sahabat yang pengorbanannya untuk Islam begitu
besar itu. Salman seorang sahabat yang tulus dan rendah hati. Dia dihormati.
Dia dicintai.
Satu demi satu, mulai dari Abud Darda’ , beberapa
shahabat mengajukan diri sebagai pengganti Salman jika hukuman benar-benar
dijatuhkan padanya. Tetapi Salman menolak. ‘Umar juga menggeleng. Matahari
semakin lingsir ke barat. Kekhawatiran ‘Umar maikn memuncak. Oara shahabat
makin kalut dan sedih.
Hanya beberapa saat menjelang habisnya batas waktu,
tampak seseorang datang dengan tertatih dan terseok. Dia pemuda itu, sang
terpidana. “Maafkan aku,” ujarnya dengan senyum tulus sembari menyeka keringat
yang membasahi sekujur wajah, “Urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan
rumit sementara untaku tak sempat berisitirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat
dan terpaksa kutinggalkan di tengah jalan. Aku harus berlari-lari untuk sampai
kemari sehingga nyaris terlambat.”
Semua yang melihat wajah dan penampilan pemuda ini
merasakan sati sergapan iba. Semua yang mendengar penuturannya merasakan
keharuan yang mendesak-desak. Semua tiba-tiba merasa tak rela jika sang pemuda
harus berakhir hidupnya di hari itu.
“Pemuda yang jujur,” ujar ‘Umar dengan mata
berkaca-kaca, “Mengapa kau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk
lari dan tak harus mati menanggung qishash?”
“Sungguh jangan sampai ada orang mengatakan,” kata
pemuda itu sambil tersenyum ikhlas, “Tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan
jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum
Muslimin.”
“Dan kau Salman,” kata ‘Umar bergetar, “Untuk apa
kau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau
kenal sama sekali? Bagaimana kau bisa mempercayainya?”
“Sungguh jangan sampai orang bicara,” ujar Salman
dengan wajah teguh, “Bahwa tak ada lagi orang yang mau saling mambagi beban
dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling
percaya di antara orang-orang Muslim.”
“Allahu Akbar!” kata ‘Umar, “Segala puji bagi Allah.
Kalian telah membesarkan hati ummat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya
iman kalian. Tetapi bagaimanapun wahai pemuda, had untukmu harus kami
tegakkan!”
Pemuda itu mengangguk pasrah.
“Kami memutuskan...” kata kakak beradik penggugat
tiba-tiba menyeruak, “Untuk memaafkannya.” Mereka tersedu sedan. “Kami
melihatnya sebagai seorang pribadi yang berbudi dan tepat janji. Demi Allah,
pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh
ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami
memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.”
“Alhamdulillah! Alhamdulillah!” ujar ‘Umar. Pemuda
terhukum itu sujud syukur. Salman tak ketinggalan menyungkurkan wajahnya ke
arah kiblat mengagungkan asma Allah, yang kemudian bahkan diikuti oleh semua
hadirin.
“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya
‘Umar pada kedua ahli waris korban.
“Agar jangan sampai ada
yang mengatakan,” jawab mereka masih terharu, “Bahwa di kalangan kaum Muslimin
tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati dan kasih sayang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar