Tanjung Datu, Agustus 2015 (Dok. Pribadi Serambi Negeri) |
Siapa yang tak mengenal bunga Rafflesia? Selain bunga Melati
Putih (Jasminum sambac) sebagai Puspa Bangsa dan Anggrek Bulan (Phalaenopsis
amabilis) sebagai Puspa Pesona, terdapat satu lagi bunga yang dinyatakan sebagai bunga nasional yang dapat mewakili karakteristik bangsa dan negara Indonesia.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, bunga Rafflesia
(dalam hal ini Rafflesia arnoldii) ditetapkan sebagai salah satu bunga
nasional dan menjadi identitas bangsa Indonesia. Bunga Rafflesia
arnoldii dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan
bunga Padma Raksasa atau juga disebut sebagai Puspa Langka. Penetapan ketiga
bunga nasional ini dilakukan sebagai wujud pemerintah untuk meningkatkan rasa
cinta tanah air dan juga mewujudkan perlindungan serta pelestarian bagi satwa
dan bunga nasional. Dalam rangka
Hari Keanekaragaman Hayati 2019, kali ini saya akan membahas mengenai salah
satu bunga nasional tersebut.
Rafflesia; sebagian orang menyebut “bunga
bangkai” sebagai nama ‘lokal; dari bunga Rafflesia ini. Akan tetapi, ternyata yang disebut "bunga bangkai"
ini bukan hanya Rafflesia saja. Terdapat sedikit salah
kaprah dalam penyebutan “bunga bangkai” di kalangan masyarakat Indonesia. Terminologi
bunga bangkai di kalangan masyarakat ini lebih merujuk kepada fisik dari bunga
tersebut yang diwakilkan dengan kata "bangkai". Menurut pemahaman
masyarakat, bunga bangkai adalah bunga yang memiliki aroma busuk, seperti aroma
bangkai. Padahal, meski kedua jenis bunga tersebut sama-sama
memiliki bau busuk, keduanya merupakan bunga sama yang sama sekali berbeda.
Perbedaan Bunga Rafflesia (kiri) dan Bunga Bangkai (kanan). (Sumber: bobo.grid.id)
|
Bunga bangkai yang 'sebenarnya' memiliki nama
ilmiah Amorphophallus titanum atau juga disebut dengan Bunga Bangkai
Raksasa atau Titan Arum atau juga disebut dengan Suweg Raksasa. Dari segi fisik,
bunga ini tentu sangat berbeda dengan bunga Rafflesia. Bunga bangkai adalah
tumbuhan sempurna yang memiliki akar, batang, daun, dan bunga. Ukuran tumbuhan
ini juga sangat besar. Bunga bangkai bisa mencapai tinggi hingga 1-2 meter dengan lebar mahkota bunga bisa mencapai 1-5 meter. Meski ukuran bunga bangkai lebih besar dibandingkan
dengan bunga Rafflesia, akan tetapi bunga bangkai bukan merupakan bunga
terbesar. Bunga ini tersusun dari banyak bunga kecil yang berada pada satu
batang yang sama atau disebut pula dengan bunga majemuk. Selain itu, siklus
hidupnya pun berbeda. Bunga bangkai merupakan tumbuhan sempurna yang dapat
berfotosintesis dan berkembang biak sendiri. Akan tetapi, saat ini bunga ini sudah
sangat berkurang di alam. Salah satu lokasi dimana bunga ini dapat ditemukan adalah
di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, dimana pada saat tertentu ketika bunga ini
sedang mekar (umumnya 5-7 hari) maka akan banyak wisatawan atau peneliti yang
berkunjung untuk sekedar melihat atau mempelajari bunga bangkai ini.
Berbeda dengan Bunga Bangkai yang termasuk kategori tumbuhan
terbesar, Bunga Rafflesia termasuk ke dalam salah satu bunga terbesar di dunia. Rafflesia termasuk ke dalam tumbuhan endoparasit yang 'menggantungkan' hidupnya pada
tumbuhan inang merambat yang disebut Tetrastigma. Karena
termasuk parasit, maka Rafflesia adalah “the real bunga” yang tidak
memiliki batang, daun, dan serta akar layaknya tumbuhan sempurna. Bunga ini hanya memiliki bagian-bagian bunga yang berawal dari sebuah
kelopak dan berakhir dengan lima mahkota bunga. Di bagian bawah bunga tersebut
terdapat benang sari atau putik yang menunjukkan apakah bunga tersebut berjenis
jantan atau betina. Karena bukan termasuk tumbuhan sempurna, Rafflesia tidak
bisa melakukan fotosintesis sendiri. Perkembangbiakan bunga melalui penyerbukan
Rafflesia dibantu oleh lalat yang tertarik dengan bau busuk atau menyengat dari
bunga ini. Masa pertumbuhan bunga ini yang cukup panjang mencapai sembilan
bulan tidak sebanding dengan masa mekarnya yang hanya berkisar 5-7 hari. Setelah
itu, bunga ini akan layu dan mati.
Kelopak Rafflesia (Dok. Pribadi Serambi Negeri) |
Rafflesia sendiri sebenarnya adalah nama sebuah genus. Pada genus Rafflesia tersebut, masih
terbagi menjadi beberapa spesies. Hingga saat ini, terdapat 25 jenis atau spesies Rafflesia yang dapat didefinisikan di seluruh dunia. Sebanyak 12 jenis Rafflesia tersebut dapat
ditemukan di Indonesia. Beberapa nama spesies Rafflesia tersebut
diantaranya adalah Rafflesia arnoldii (1818), Rafflesia patma
(1825), Rafflesia rochussenii (1850), Rafflesia tuan-mudae (1868),
Rafflesia hasseltii (1879),Rafflesia borneensis (1918), Rafflesia
ciliata (1918), Rafflesia witkampii (1918), Rafflesia gadutensis
(1984), Rafflesia keithii (1984), Rafflesia micropylora (1984), Rafflesia
pricei (1984) dan Rafflesia tengku-adlinii (1989).
Spesies Rafflesia pertama yang ditemukan
adalah spesies Rafflesia arnoldii. Rafflesia arnoldii pertama kali
ditemukan pada tahun 1818 di pedalaman Bengkulu Selatan. Bunga ini ditemukan
oleh Dr. Joseph Arnold, seorang pemandu yang sedang mengikuti ekspedisi Thomas
Stanford Raffles. Oleh karena itu, penamaan bunga ini disusun dari sejarah
penggabungan antara Raffles dan Arnold. Habitat bunga ini umumnya tumbuh di
hutan hujan tropis, sehingga di dunia hanya bisa ditemukan di beberapa negara
tropis saja seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan tentu saja Indonesia. Di Indonesia
sendiri, bunga ini endemik di beberapa wilayah, utamanya Sumatra, juga
ditemukan di beberapa hutan di Kalimantan dan Jawa.
Potret Kebakaran Hutan di Hutan Kalimantan (Dok. Pribadi Serambi Negeri) |
Rafflesia termasuk ke dalam jenis tumbuhan
yang hampir punah. Beberapa faktor penyebab ancaman kepunahan tersebut ialah
adanya faktor biologi Rafflesia itu sendiri yang dalam proses
perkembangbiakannya tidak boleh ada gangguan manusia, mengandalkan inang untuk
hidup, serta mengandalkan lalat untuk membantu penyerbukan. Padahal, waktu
mekarnya benang sari dan putiknya sendiripun belum tentu bersamaan. Selain itu,
habitat dari bunga ini yang hanya bisa tumbuh di hutan primer untuk dapat
bertahan hidup juga menjadi salah satu ancaman dalam perkembangbiakannya. Maraknya
pembalakan liar dan kebakaran hutan mempengaruhi laju deforestasti dari
hutan-hutan primer di Indonesia. Hal ini tentu berpengaruh mengancam keberadaan
habitat puspa langka tersebut. Akan tetapi, di balik itu permasalahan tersebut, masih terdapat
berbagai keindahan alam di pelosok hutan yang rimbun seperti yang pernah kami alami tiga tahun silam.
Sekitar pertengahan tahun 2015, kami (saya dan
tim KKN PPM UGM KTB-03) berkesempatan melakukan pengabdian masyarakat di
perbatasan Indonesia-Malaysia yang terdapat di Pulau Kalimantan, tepatnya di
Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Kami bertugas
untuk mengabdi dan memberdayakan masyarakat di desa selama dua bulan
(Juli-Agustus 2015). Singkat cerita di akhir masa pengabdian
tersebut, tim kami berkesempatan untuk melakukan susur hutan di Tanjung Datu. Hutan ini terletak
diantara dua negara: perbatasan Indonesia-Malaysia. Hutan ini termasuk hutan
primer yang masih terjaga keindahan dan keasliannya.
Tim KTB-03 di Tanjung Datu - 2015 (Dok. Pribadi Serambi Negeri)
|
Perjalanan menuju Tanjung Datu kami awali dengan
menaiki kapal dari dermaga Desa Temajuk menuju titik terluar perbatasan Tanjung
Datu. Perjalanan menggunakan kapal kurang-lebih membutuhkan waktu sekitar 30-40
menit yang sangat menyenangkan. Dalam perjalanan kami menjumpai ikan-ikan yang
berenang dan burung-burung yang riuh seakan menyambut kedatangan kami.
Sesampainya di Tanjung Datu, rombongan kami segera bergegas naik menuju lokasi
mercusuar untuk beristirahat. Meski siang hari, kami tetap bersemangat dengan
sesekali mengabadikan momen dengan mengambil gambar.
Sesampainya di lokasi mercusuar, kami dapat
mengamati Laut Natuna dari atasnya. Kami juga sekilas memandangi hutan Tanjung
Datu dan perbatasan Indonesia-Malaysia. For your information, selain berfungsi
untuk membantu navigator untuk menentukan arah, mercusuar ini juga digunakan
sebagai batas wilayah negara, termasuk mercusuar yang kami kunjungi di Tanjung
Datu ini, sehingga memang ada petugas penjaga yang tinggal disini. Selesai kami
melakukan rehat siang sejenak, kami melanjutkan perjalanan susur hutan.
Sayangnya, tidak semua anggota tim ikut melakukan mini ekspedisi ini. Sebagian
harus kembali ke desa untuk suatu urusan. Tinggallah
kami bertujuh belas dan dua warga lokal yang mengantarkan kami melanjutkan
perjalanan. Dan salah satu warga tersebut adalah Ayah angkat di rumah tinggalku
selama KKN :)
Salam dari Tanjung Datu, Perbatasan Indonesia-Malaysia (Dok. Pribadi Serambi Negeri) |
Di sepanjang perjalanan menyusuri hutan, kami
disuguhi pemandangan yang luar biasa. Mata kami dimanjakan oleh hutan primer
yang berkanopi rapat dengan aroma tanah dan tanaman yang menyatu sempurna. Kami
sangat menikmati perjalanan tersebut dengan sesekali bersenandung dan mengamati
keadaan sekitar. Pohon yang menjulang, batu raksasa, dan sesekali kami harus
menunduk melewati akar-akar raksasa. Tak lupa kami saling mengingatkan untuk menjaga sikap dan menjaga hutan supaya tetap alami dan lestari. Kami juga sesekali mendengar kicauan
burung endemik enggano dan erangan dari kucing hutan yang menambah keseruan
perjalanan kami dan tak sabar menghadapi hal-hal yang akan kami jumpai di
depan.
Di penghujung sore, Ayah sebagai penunjuk
jalan mengajak kami ‘menepi’ di bawah batuan besar untuk kami bermalam. Saking
besarnya, batuan tersebut menyerupai terowongan sehingga kami muat masuk di
bawahnya. Sebagian dari kami menyiapkan peralatan memasak, sebagian yang lain
melihat keadaan sekitar. Di ujung senja itu, kami menemukan akhirnya menemukan
lokasi Batu Bajulang, salah satu spot ketika tracking di Tanjung Datu.
Sesuai dengan namanya, Batu Bajulang adalah batu besar yang menjulang. Batu ini
berada di sebuah tebing dengan kemiringan >45 derajat. Karena rasa
penasaran, kami menaiki batu tersebut dengan sangat hati-hati. Salah sedikit,
kami bisa terjun ke bawah tebing. Tapi, sungguh terbayar lunas. Pemandangan di
Batu Bajulang yang menghadap ke barat mengantarkan kami pada senja yang
sempurna berlatar lautan luas. Setelah matahari hari itu tunai tugasnya, kami
bergegas turun, mengisi ulang energi untuk melanjutkan perjalanan esok hari.
Hutan Primer Temajuk (Dok. Pribadi Serambi Negeri) |
Keesokan paginya, kami melanjutkan perjalanan
menyusuri hutan Tanjung Datu. Kami masih dibuat takjub dengan berbagai
pemandangan yang ada. Sesekali kami beristirahat untuk sekedar meneguk air atau
mengunyah gula aren untuk mengisi ulang tenaga. Di sisa tenaga, Ayah angkatku menemukan
jalan memisah. Di balik jalan yang sedikit berliku ini, terdapat semacam
batu-batu besar untuk istirahat siang. Setelah melewati terowongan batu itu, ternyata
kami menemukan harta karun. Ya, benar, kami bertemu dengan bunga Rafflesia! Sesuatu
yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Saking takjubnya, kami tidak
beranjak dari tempat tersebut untuk beberapa waktu. Rafflesia yang kami temukan sepertinya sudah mekar beberapa hari dan masuk ke tahap layu atau hampir mati. Kalau ditilik dari sejarah dan lokasi serta kenampakan fisiknya, sepertinya yang kami temukan adalah spesies Rafflesia hasseltii yang memang lebih sering ditemukan di perbatasan Indonesia-Malaysia, termasuk di hutan Tanjung Datu. Selain itu, kondisi hutan yang masih alami dan tidak tercampur perilaku manusia membuat hutan ini menjadi habitat sempurna bagi beraneka hayati. Setelah kami puas
memandangi, kami berjalan sedikit. Dan keajaiban selanjutnya, di balik tumpukan
batu-batu besar, kami menemukan sumber mata air segar untuk melepas dahaga. Ah,
surga dunia!
Bertemu Rafflesia di Tanjung Datu - 2015 (Dok. Pribadi Serambi Negeri) |
Setelah
puas beristirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Sedikit lagi kami akan
mengakhiri trip menakjubkan ini. Sisa perjalanan kami isi dengan menyanyi,
membuat video, dan bercerita mengamati hutan. Mulai dari lagu anak, lagu
daerah, sampai lagu perjuangan tak henti kami dendangkan karena saking
bersemangatnya kami. Hingga tidak terasa ketika sore menyapa dan kami mulai
melihat rumah penduduk dari kejauhan. Mau tidak mau, berakhirlah petualangan
kami menyusuri Tanjung Datu sampai disini. Tanjung Datu hanyalah salah satu
surga dari keanekaragaman hayati yang ada di Pulau Kalimantan, dan itupun kami
sudah dibuat takjub. Selain itu, Desa Temajuk sendiri adalah surga wisata di
Kabupaten Sambas. Maka kembali kesini untuk mengulik berbagai rahasia alam
adalah candu selain karena hati kami telah tertambat disini. Semoga, ada waktu
untuk kembali mengunjungi ‘kampung kedua’ kami, dan juga untuk melanjutkan ekspedisi
menyusuri berbagai keindahan alam di negeri ini. Tak lupa juga untuk senantiasa menanamkan dalam diri untuk menjaga kelestarian alam sebagai bagian dari khalifah di Bumi Pertiwi.
Tim KKN KTB-03 2015 |