Bukankah zona waktu yang kita alami sebenarnya amat bergantung pada diri
kita sendiri?
Sadarkah ketika kita sedang sibuk-sibuknya, waktu terasa mengalir begitu
saja. Baru berangkat tiba-tiba udah dhuhur. Baru kerja dikit udah ashar. Baru
lanjut lagi udah maghrib, waktunya pulang. Masih di jalan udah isya'. Baru sampai
rumah dan istirahat tiba-tiba udah shubuh aja dan harus mulai beraktivitas
lagi.
Jenuh.
Dan terasa sekali bahwa waktu-waktu sholat itu menjadi jeda untuk
beristirahat yang amat berharga. (Kemudian mikir, bener aja yang katanya sholat
itu istirahat yang menenangkan dan ingin terus diulang :” *lagilurus*) Tidak
ada alasan lain yang akan ditolerir dalam kerasnya dunia kerja. Kita juga tidak
mau menjadikan sakit sebagai jeda bukan? Tentu saja. Siapa juga yang mau
merasakan keletihan dan kesendirian di tanah rantauan? Rasanya, ingin segera
mengakhiri semua keruwetan hidup ini. Pekerjaan yang tak henti menghampiri,
tanggungjawab yang tak lepas menggelayuti. Bagaimana aku bisa menikmati hidup,
Tuhan? Aku hanya butuh berhenti sejenak. Tolong lepas aku dari semua hiruk
pikuk dunia ini...
Dan tak lama, Ia mengabulkan harapanmu.
Kau tiba di satu titik untuk berhenti, menjeda dari segala aktivitasmu,
beristirahat sejenak dari segala beban hidupmu. Hari-harimu dipenuhi dengan istirahat-istirahat
panjang. Kau bebas melakukan apapun yang kau suka. Tapi, lama-lama, kau bingung
sendiri bagaimana cara membunuh waktu? Kenapa jeda antar sholat yang terasa
singkat sekarang seakan berabad?
Kau bangun di shubuh hari dan membunuh waktu dengan berbagai pekerjaan
rumah. Menyapu, mencuci, memasak, tapi tetap saja masih pagi. Apalagi yang harus aku lakukan? Teriakmu
dalam hati. Akhirnya, tiba juga waktu dhuhur. Setelah kelelahan dengan berbagai
pekerjaan rumah, sejenak kau mengistirahatkan diri, tapi tak bisa. Kau buka
smartphone untuk berharap rasa kantuk hadir dan membunuh waktu. Gagal. Kau
masih saja tenggelam dalam dunia maya, hingga tak sadar adzan ashar memanggil.
Kau beranjak, tapi masih juga bingung, apa
yang sebenarnya aku lakukan?, keluhmu lagi. Menunggu maghrib, kadang kau
isi dengan membaca buku, atau sekedar membantu ibu di dapur menyiapkan hidangan
makan malam. Tak lama, malam menjelang, sudah adzan isya. Sedikit bercengkrama,
lalu kau merebahkan diri di ‘pulau impian’. Dan ketika terbangun di penghulu
shubuh, akhirnya kau berkata, ah, aku
bosan hidup seperti ini. tidak adakah kesibukan yang bisa aku selesaikan? Kau
menggerutu. Lagi.
Memang begitu. Apa yang kita rasakan seringnya menjemukan. Kita seringnya lebih mensyukuri kehidupan yang telah kita lewati, bukan yang sedang kita jalani. Atau bahkan seringnya kita lebih mensyukuri kehidupan orang lain? Entahlah. Akan tetapi, sadarkah bahwa sebenarnya itu yang membuat hati menjadi lebih sempit? Terus merutuki diri dan keadaan yang tak terkendali. Memang, manusia bisa apa? padahal sebenarnya, kita hanya berada di zona yang berbeda saja. Tidak semua yang kita lakukan, harus dilakukan orang lain. Tidak juga yang menjadi tanggungjawab oranglain, harus juga menjadi urusan kita. Tidak begitu. Kita memiliki hidup kita masing-masing. Berhentilah membanding-bandingkan.
Memang begitu. Apa yang kita rasakan seringnya menjemukan. Kita seringnya lebih mensyukuri kehidupan yang telah kita lewati, bukan yang sedang kita jalani. Atau bahkan seringnya kita lebih mensyukuri kehidupan orang lain? Entahlah. Akan tetapi, sadarkah bahwa sebenarnya itu yang membuat hati menjadi lebih sempit? Terus merutuki diri dan keadaan yang tak terkendali. Memang, manusia bisa apa? padahal sebenarnya, kita hanya berada di zona yang berbeda saja. Tidak semua yang kita lakukan, harus dilakukan orang lain. Tidak juga yang menjadi tanggungjawab oranglain, harus juga menjadi urusan kita. Tidak begitu. Kita memiliki hidup kita masing-masing. Berhentilah membanding-bandingkan.
Dua kuncinya: sabar dan syukur. Sabar ketika sedang diuji
masalah, dan syukur ketika sedang mendapat rezeki yang berlimpah. Keduanya,
akan menjadikan diri lebih memahami arti hidup ini. Agar, tidak lelah dengan
pengharapan dan pencapaian orang lain. Agar, kita bisa lebih memaknai dan
menghargai diri dan hidup kita masing-masing.
Tapipun, kadang itu semua belum cukup untuk meredam gejolak diri untuk
melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Disini, ikhlas semestinya akan menjadi penawar dari segala keresahan hati yang
tak terperi. Lakukanlah apa yang kamu mau, berikanlah yang terbaik yang kamu bisa.
Jangan pernah ragu. Jangan pernah menyesal. Kunci dari keberhasilan adalah pantang
menyerah. Jika kau gagal saat ini, bukankah itu justru membuka peluang untukmu
berhasil lebih besar? Lalu apa lagi yang kamu cari?
Teruntuk kamu, yang pernah merasa begitu tertekan dengan kerasnya dunia...
Juga kamu, yang pernah merasa dicampakkan dunia...
Teruslah melakukan yang terbaik. Lakukan apa yang membuatmu terus bertahan.
Lakukan apa yang membuatmu bisa bermanfaat. Jangan berhenti. Jangan pernah
berhenti sampai kamu tidak kuat berjalan lagi. Di ujung jalan, kamu akan
menemukan bahwa kebahagiaan sejati memang pantas untuk diperjuankan.
Selamat berjuang!
Yogyakarta,
2 Desember 2017
Sesama teman berjuang,
Yogyakarta,
2 Desember 2017
Sesama teman berjuang,